SBY sering melontarkan istilah asing. Tak ada pidato yang tak terangkai dengan kalimat bahasa inggris. Bahasa asing, adalah tanda bahwa SBY adalah intelektual. Sudah sering ia buktikan ke-intelektualan-nya dengan cara ini, maka tak perlu dipertanyakan lagi. Ini adalahpersoalan intelektual, bukan persoalan tebar pesona.
Semula saya berpikir bahasa asing SBY adalah ciri ke-intelektual-an yang ia ingin kedepankan guna mengikis citra tentara yang kejam, buas, dan seram yang lama ditanamkan didalam benak dan pengalaman anak Indonesia di era Soeharto. Semula saya berpikir, SBY sedang mengikuti arus perubahan makanya dia berupaya mengikuti istilah-istilah populer yang sedang trend seperti 'demokrasi', 'human right', 'transparansi', dst...dst.
Tidak hanya istilah populer yang diusung SBY, bahkan dalam lembaga kenegaraan pun dia mencoba menyesuaikan dengan penuh semangat. Di era SBY banyak komite terbentuk, padahal waktu jenderal Sjarwan Hamid jadi Aster ABRI (sekarang TNI) sempat menyebut ciri-ciri gerakan komunis adalah menggunakan istilah 'komite' pada nama lembaga atau organisasinya (saat itu tentara maha menentukan nilai dan hukum di republik ini). Saya pikir SBY sedang merontokkan citra tentara yang melekat pada dirinya untuk disesuaikan dengan alam reformasi.
Ternyata saya salah pikir. Saat SBY mencoba 'menggugat' status istimewa Propinsi DI Jogjakarta, saya jadi berpikir bahwa SBY memang tak mengerti Indonesia. Dia memang asing terhadap Indonesia, khususnya dalam alam pikirnya. Hanya badannya yang besarlah yang ada di Indonesia, sedangkan pikiran besarnya tidak sedang meng-Indoensia melainkan meng-asing.
Bahkan pemerintah belanda saat berkuasa di wilalayah Indonesia ini masih mengakui status daerah otonom dan keistimewaan daerah swapraja semacam Jogjakarta dan daerah 'aseli' lainnya di Indonesia yang disebut dengan pemerintahan swapraja.
SBY mungkin asing terhadap konstitusi Indonesia. Apakah ia lebih peduli pada konstitusi Amerika? Entahlah...
Mungkin SBY lebih peduli pada upaya-upaya penguasaan sumber daya alam oleh kapital global, dan agar lebih efisien maka peran pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat tidak boleh ada. Agar lebih efisien dan efektif harus satu pintu yaitu pintu Jakarta dimana SBY dan Istananya berada.
SBY perlu diingatkan, sebelum ia saya sebut sebagai pengkhianat konstitusi. SBY perlu diingatkan sebelum ia saya sebut sebagai durhaka pada para founding fathers. Makanya ia perlu baca penjelasan pasal 18 UUD 45 (sebelum perubahan) yang berbunyi: "dalam territoir Negara Indonesia terdapat 250 Zelbesturende landschappen dan voksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan aseli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai daerah-daerah itu akan mengikuti hal asal-usul daerah tersebut".
Atau, katakanlah ia sedang berakrobat mengalihkan perhatian sehubungan dengan kemelut politik antara dirinya dan Abu Rizal. Tetaplah tidak patut ia menyinggung eksistensi keistimewaan komunitas asli indonesia. Ia tak patut mempertaruhkan tiang-tiang penyangga negara (komunitas adat) demi memenangkan pertarungan kecil antara dirinya dengan Ical. Kalau ia paksakan juga menggunakan segala cara mengeliminir eksistensi masyarakat adat dalam mencapai tujuannya politiknya, maka ia bukan sekedar ga ngerti indonesia tapi ia memang ingin membunuh Indonesia.
Semoga SBY segera belajar dan cepat sadar. Tak ada kekuasaan yang abadi. Maka ia tak boleh mempermainkan kebanggaan dan harga diri komunitas mana pun yang ada di wilalyah ibu pertiwi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H