sejak reformasi gagasan demiliterisasi Polri telah dilaksanakan secara intensif, yakni dengan memisahkan Polri sebagai bagian dari unsur angkatan bersenjata. Selanjutnya, institusi yang semula dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)diganti menjadi Tentara Nasional Indonesi (TNI). Tak ketinggalan pula pembuatan perangkat peraturan perundangan yang memisahkan institusi serta kewenangan kepolisian dari militer.
Pada masa Orde Baru, keberadaa Polri sebagai bagian dari militer merupakan komsekuensi doktrin politik 'dwi fungsi ABRI' dimana institusi militer (ABRI saat itu) memiliki legitimasi untuk berperan dominan dalam tatanan sosial, politik, budaya maupun ekonomi. Dalam praktek, doktrin ini membuat hampir semua urusan kewargaan ditentukan dan dilaksanakan dengan melibatkan institusi militer, khususnya Angkatan Darat.Polri sebagai bagian dari institusi militer pada saat itu meleksanakan wewenangnya sebagai institusi penegak hukum meleksanakan tugas dan fungsinya dengan gaya militer. Polri mengedepankan gaya komando dari pada keterampilan penyidikan, bahkan sering menggunakan cara-cara kekerasan dalam menangani suatu perkara.
Dengan gaya militer itu kelihatannya tugas-tugas kepolisian menjadi mudah dan cepat karena bisa mengabaikan prosedur Hukum Acara. Akan tetapi pada kenyataannya bukan demikian, yang terjadi adalah kewenangan kepolisian sering diambil alih atau diintervensi oleh tentara dengan alasan demi stabilitas keamanan. Keadaan ini sering membuat frustrasi di kalangan anggota Polri. Juga mewmbuat jengkel masyarakat yang menghendaki keadilan yang berdasarkan hukum.
Orde reformasi kemudian mengubah keadaan. Polri bukan bagian dari militer. Sehingga anggota Polri tidak lagi tunduk pada hukum militer serta cara kerjanyapun tidak lagi bergaya militer. Penampilan dan uniformnya juga didisain sehingga lebih familiar. Secara kelembagaan Polri menjadi tersendiri dan secara sruktural langsung berada di bawah presiden. Pamor kepolisian menjadi naik, dan kewenangan mereka kembali mereka raih. Mereka telah terlepas dari belenggu militer. Dengan lepasnya belenggu itu Polri menjadi warga sipil, memiliki wewenang dalam ranah sipil dimana mereka diberi kewenangan melakukuan paksaan secara terbatas guna keperluan penegakan hukum.
Namun dalam prakteknya cara-cara militer yang mengedepankan paksaan atau kekerasan ternyata masih bagian dari cara kerja polisi. Malah menjadi semakin menghawatirkan karena kuasa mereka untuk melakukan upaya paksa dibenarkan oleh hukum. Mereka memanggil seseorang secara serampangan asal ada laporan polisi tanpa terlebih dahulu mengkaji masalah yang dilaporkan; mereka mengancam menahan orang jika tidak mengakui sesuatu yang ingin didengar oleh pemeriksa/polisi sebagai fakta (cara inilah yang seringkali menjadi pangkal peradilan sesat).
Selain cara kerja yang masih kental cara militer, ternyata Polri juga belum siap untuk tunduk pada hukum sipil. Ketika institusi lain seperti KPK atau Kejaksaan menetapkan anggota Polri sebagai tersangka dalam perkara korupsi maka tersangka yang anggota Polri itu dikembalikan kepada kesatuannya (yakni institusi Polri) untuk diproses lebih lanjut.
Penindakan anggota polri dengan cara 'dikembalikan ke kesatuan' ini pernah terjadi saat ada anggota polri yang diperbantukan di KPK diduga menerima suap. Saat ini terjadi di Bandung terkait penyidikan dugaan korupsi dana Bansos Pemkot Bandung, seorang anggota polri yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat tidak dilanjutkan penyidikannya bersama tersangka yang lain, melainkan dikembalikan ke kesatuan.Sementara kesatuannya sendiri tidak memproses lebih lanjut status tersangka anggotanya tersebut, bahkan setelah perkara atas tersangka lainnya telah memasuki persidangan.
Jika perlakuan istimewa terhadap anggota polri tersangka korup terus dilakukan dengan cara 'mengembalikan ke KESATUAN' maka Polri secara diam kembali menyeret dirinya sebagai bagian dari militer. Jika polri ingin menjadi bagian dari penegak hukum dalam ranah sipil maka ia tak boleh membiarkan perlakuan istimewa terhadap anggotanya seakan-akan mereka tunduk pada hukum acara pidana militer dimana hanya melalui atasan yang berhak manghukum di kesatuan barulah seseorang boleh diproses secara hukum. Jika Polri ingin menegakkan hukum maka ia tak boleh melakukan diskriminasi hukum dengan cara mengistimewkan anggotanya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H