Korupsi di dinas dan departemen pendidikan adalah cerita usang. Guru yang ngobjek bikin les dan jual buku agar dapat komisi adalah kisah lama. Sekolah yang pasang argo gelap saat PSB (penerimaan siswa baru), adalah berita tahunan yang terus berulang. Mungkin ini semua adalah dampak sistemik, tanpa kita tahu sistem apa dan berpangkal dari mana.
Mari lupakan masalah sistemik. Biarkan itu jadi urusan orang yang pintar-pintar. Di sini saya mau menulis sebuah masalah kecil dan nyata. Bolehlah dikata sebagai hal parsial dari carut marut pendidikan kita yang sistemik itu. Saya ingin mengenang sekaligus membandingkan sekolah jaman dulu dan sekarang. Sekedar sebagai catatan yang mungkin bermanfaat.
Saat saya duduk di kelas satu Sekolah Dasar, baru saja guru sampai dipintu kelas suasana menjadi hening. Seingat saya tidak ada ketua kelas untuk kelas satu dan kelas dua. Guru sendiri yang memberi aba-aba ketika jam belajar dimulai. Guru memulai dengan aba-aba menyuruh melipat tangan dalam hitungan satu sampai tiga. Setelah itu menyuruh mengumpulkan pekerjaan rumah kalau ada, atau langsung belajar.
Saat menulis dan membaca, guru selalu memperhatikan posisi duduk, jarak baca, cara memegang alat tulis, posisi tangan kiri yang terlipat, bahkan letak mistar yang sedang nganggur sering dibetulkan oleh guru. Sering kali kami para murid dimarahi guru saat jarak mata kami dengan buku terlalu dekat. Tak jarang dibentak pula atau kening kami dijengukkan ke belakang. 'Nanti cepat buta kamu!!!', kata guru kami. Kalau ada yang menulis sambil menyadarkan dagu di atas tangan kiri yang terlipat, guru menghardik: 'hei pemalas... udah malas, nanti udah besar kau jadi buta pula'.
Saya rasakan saat itu betapa bengisnya guru kami mendidik kami. Sekarang saya menyadari betapa guru-guru jaman dulu itu sangat peduli pada diri murid-muridnya. Mereka tidak hanya memberi ilmu tetapi juga membentuk kepribadian. Tidak hanya kepribadian, bahkan jasmani murid-murid pun mereka perhatikan supaya berada dalam kesempurnaan. Alangkah hebatnya guru jaman itu.
Bahkan kepala sekolah kami yang konon adalah didikan Belanda sering menyisipkan komentar-komentar lugasnya pada saat ia memberi petuah saat upacara bendera. Ia berkomentar tentang cara berpakaian anak-anak murid yang sudah sempit dan bisa menggagu aliran darah. Saya ingat beliau bilang: 'lebih baik minta baju kakak kalian yang sudah usang dari pada pake baju bagus tapi merusak tubuh'. Hmm... adakah guru sekarang yang peduli sampai sejauh itu?
Guru sekarang keliatannya lebih tak peduli pada murid-muridnya. Saya beberapa kali menyaksikan kelas anak saya yang duduk di kelas empat SD. Saat lonceng pulang sekolah berdentang, tanpa menebar pandangan pada anak-anak didiknya si guru memberi aba-aba: "ya, siapkan...!" Ketua kelas melangkah ke depan memberi aba-aba: "bersi---ap..... berdoa mulai", kemudian: "beri sa---lam.....!" Saat berdoa dan memberi salam, masih banyak anak-anak yang bercakap-cakap dan bahkan ada anak-anak yang masih saling lempar bola kertas.
Jangankan peduli pada kesempurnaan jasmani. Bahkan pembentukan kepribadian pun telah dilalaikan oleh sekolah jaman sekarang. Anak-anak menulis dengan cara dan gayanya masing-masing. Tulisannya sering susah dibaca, tapi kecepatan menulisnya luar biasa. Kadang saya heran dengan cara guru mendidik anak, tapi selalu saya maklumi dengan dalih mungkin tuntutan keadaan telah berubah. Keinginan jaman telah bergeser.
Terlepas dari cara didik yang membuat saya terheran-heran sekaligus maklum. Satu hal yang saya pastikan telah berubah adalah bahwa kepedulian guru jaman sekarang sangat jauh berkurang dibanding kepedulian guru jaman dulu, saat saya masih sekolah. Kalau saya cerita pada anak-anak saya, mereka menjawab: 'itu dulu ayah'. Ya, memang benar. Itu dulu.....***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H