Pada tulisan terdahulu saya sudah mengurai ringkas pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, berikut peluang boikotnya. Tulisan kali ini mengurai tentang pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 34 tahun 2000.
Selama ini, masalah pajak lebih banyak menunjuk pada pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Padahal pajak daerah ini memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengisi pundi-pundi pemerintah daerah (Pendapatan Asli Daerah atau PAD). Terluputnya masalah pajak daerah ini dari pantauan publik mungkin karena jumlahnya tidak se-fantastis pajak pusat, padahal jika dihimpun total pajak seluruh daerah di Indonesia mungkin jumlahnya melebihi pajak yang dihimpun oleh pemerintah pusat.
Prinsip pengenaan dan penerapan sanksi atas kelalaian pembayaran pajak daerah, sebenarnya sama saja dengan pajak pusat. Pada pajak daerah berlaku self assesment, SPTPD (Surat Pemberitahuan Pajak Daerah), Keberatan, serta Banding dan Gugatan ke Pengadilan Pajak. Namun belum pernah terjadi ada Wajib Pajak Daerah yang mengajukan Banding dan Gugatan sebagaimana terjadi dalam kasus pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Bahkan hak mengajukan keberatan oleh WP pun tak dimanfaatkan, paling banter permohonan WP untuk diberi keringanan oleh Kepala Daerah. Pernah terungkap di Kota Bandung dari hasil audit BPKP, sebuah restoran cepat saji memiliki hutang pajak sampai ratusan milyar, namun bagaimana penyelesaiannya setelah itu masih gelap hingga sekarang.
Penghitungan pajak daerah tidak memerlukan konsultan oleh karena tidak memerlukan verifikasi akuntansi. Penghitungannya sangat sederhana, yakni persentase dikalikan dasar pengenaan pajak. Walaupun telah diatur oleh UU jenis-jenis pajak apa saja yang boleh dipungut oleh pemerintah daerah, pemungutannya tidak serta merta berlaku berdasarkan UU. Untuk bisa memungut pajak-pajak tersebut maka pemerintah daerah harus membuatkan Perda. Misalnya, di sebuah daerah kabupaten bisa saja tidak dipungut pajak reklame karena Peraturan Daerahnya untuk memungut itu belum dibuat (mungkin belum feseable).
Jika pajak pemerintah pusat masuk ke rekening negara yang dikelola oleh Departemen Keuangan, pajak daerah ini masuk ke rekening pemerintah daerah yang dikelolah oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Jadi, untuk pajak daerah maka lokus mafianya tentu bukan di Direktorat Jenderal Pajak melainkan di Bagian Pemungutan dan Penagihan di Dinas Pendapatan Daerah.
Beriktu nomenklatur pajak-pajak daerah propinsi tersebut:
1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Atas Air
Tarif maksimum ditentukan oleh UU sebesar 5% atas nilai jual. Namun berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001, tarifnya disamakan di seluruh Indonesia yakni:
- 1,5% dari nilai jual untuk kendaraan bermotor bukan umum
- 1% dari nilai jual untuk kendaraan bermotor yang digunakan sebagai kendaraan umum
- 0,5% untuk kendaraan bermotor berupa alat berat
Harga jual yang dimaksud disini adalah harga jual yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Mendagri untuk masing-masing jenis dan tahun kendaraan. Bukan harga jual yang tertera di kuitansi yang dibuat antara penjual dan pembeli.
Jika ingin mengontrol pemungutannya tanyakanlah kepada petugas Samsat berapa harga jual kendaraan yang Anda bayarkan pajaknya. Saya belum pernah melihat ada kantor Samsat (tempat pembayaran pajak kendaraan bermotor yang memajang secara terbuka acuan harga yang diberlakukan).
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Atas Air;