Menurut pengakuan Chandra dalam konferensi pers yang ia gelar, ia mengakui pernah empat kali bertemu Nazarudin. Pertemuan pertama terjadi pada 2008 di rumah Wakil Sekjen Demokrat Saan Mustopa. Pertemuan kedua pada 15 Oktoiber 2009 di sebuah kafe di Jakarta, atas inisiatif Saan Mustofa (Wasekjen DPP PD) pertemuan itu karena Saan ingin mendengar tentang kriminalisasi pimpinan KPK.
Pertemuan ketiga terjadi pada 2009 di rumah Nazarudin.Menurut Chandra Hamzah, pertemuan ketiga ini atas undangan Nazarudin yang alasannya adalah karena Benny K Harman (Ketua Komisi III DPR/ Demokrat) ingin mendengar tentang kriminalisasi yang dialami Chandra.Pertemuan keempat terjadi pada 10 September 2010 sampai 8 Oktober 2010, di rumah Nazaruddin.
Apakah ada kemungkinan pidana dalam pertemuan itu? Jika merujuk pada teks pasal 36 ayat (1) UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, jawabannya bisa ya bisa tidak. Saat itu kasus yang melibatkan Nazarudin secara resmi memang belum ada, sedangkan pasal 36 ayat (1) yang dilarang yang harus dipatuhi secara hukum oleh Chandra selaku pimpinan KPK adalah: mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun. Sedangkan menurut pasal 65 UU yang sama, perbuatan ini dapat dipidana 5 tahun penjara bagi si pejabat KPK. Artinya, sercara norma hukum Chandra Hamzah patut diduga telah melakukan perbuatan pidana.
Pembela Chandra berdalih bahwa Nazar belum jadi tersangka saat terjadinya pertemuan, hal ini jelas terlihat pada teks. Jadi, mereka mengacu pada status tersangka Nazarudin, sehingga pertemuan itu halal. Lalu, bagaimana dengan alasan yang mengatakan adanya dugaan tindak pidana? Dalam peristiwa pidana sering kali (walaupun tidak selalu) berlaku hukum hubungan sebab akibat. Ada tidaknya tindak pidana dalam sebuah peristiwa atau perbuatan dapat dilihat dari hubungan sebab akibat ini. Maka untuk menjelaskan letak kemungkinan pidana dalam acara kongkow yang dilakukan oleh Chandra dan Nazarudin harus kita lihat dari konteks hubungan sebab akibat. Bahasa awamanya bolehlah kita istilahkan: ada udang di balik batu.
Jika ditelusur dari peserta pertemuan dimana Nazarudin yang paling rajin, patutlah diduga ada sesuatu yang terkait dengan misi Nazarudin (baik misi pribadi maupun misi partai). Padahal posisi Nazarudin hanyalah orang biasa di Partai Demokrat, sedangkan yang sudah jadi orang penting partai adalah Anas dan Benny K Harman. Jika maksud pertemuan tersebut adalah untuk mengetahui duduk soal kasus kriminalisasi Chandra-Bibit oleh mabes Polri maka seyogyanya yang paling berkompeten dan yang seharusnya paling rajin bertemu adalah Benny K harman selaku Ketua Komisi III DPRRI.Fakta-fakta ini menjelaskan adanya "udang di balik batu" yang pertama alias hubungan sebab yang perlu dikorek lebih dalam jika diangkat ke ranah pidana.
"Udang di balik batu" yang kedua dapat dicari pada pertemua keempat. Pertemauan yang berlangsung pada kisaran Oktober 2010 itu secara faktual adalah waktu-waktu yang terpaut dengan negosisasi proposal pembangunan stadion Jakabaring.
Berdasarkan terawangan.... eh... telusuran saya, proses cairnya uang proyek Stadion Jaka Baring adalah sebagai berikut:
Pada 3 Agustus 2010, proposal Pembangunan Wisma Atlet Provinsi Sumatra Selatan diajukan dengan nilai proyek Rp 200 miliar. Pada 11 Agustus 2010, tim verifikasi Kementerian Olahraga mengusulkan bantuan pembangunan wisma atlet sebesar Rp 199,635 miliar. Keesokan harinya, Sekretaris Kementerian Olahraga Wafid Muharam menyetujui pemberian bantuan untuk pembangunan wisma atlet sebesar Rp 199,635 miliar. Pada 16 Agustus 2010, dibuatlah perjanjian kerja sama antara Komite Pembangunan dan Kementerian Olahraga. Setelah disetujui, dilakukan pencairan dana tahap pertama pada 30 Agustus 2010 sebesar Rp 159,7 miliar, dilanjutkan pencairan tahap kedua pada Oktober 2010 sebesar Rp 39,9 miliar. Tender sendiri dilakukan sesudahnya. Dari delapan yang maju, ada tiga pemenang tender yang ditetapkan 25 November 2010.
Dari riwayat singkat proyek Stadion Jakabaring ini patutlah diduga ada hubungan sebab akibat antara kongkow Nazar-Chandra. Lihatlah bahwa dana telah dicairkan sebelum tender. Tinggal ditelusuri apakah informasi tentang perkeliruan ini telah masuk ke KPK sebelum pertemuan Nazar-Chandra. Bisa jadi pembicaraan tidak langsung mengenai proyek bermasalah yang melibatkan Nazar dan cs, mungkin saja Nazar, Saan, Benny, Anas menanyakan mengenai kasus apa saja yang sedang ditangani KPK, serta departemen apa yang sedang dipantau KPK, atau informasi lainnya yang membuat mereka yakin bahwa kejahatan aksi mereka lolos dari KPK.
Hubungan sebab-akibat ketiga yang patut ditelusuri berangkat dari pepatah "ada ubi ada talas, ada budi ada balas". Artinya, setelah pihak Nazar cs menaruh "perhatian" dan "simpati" atas kasus yang menimpa Chandra Hamzah tentu patutlah kalau Chandra memberi balas budi sehingga bisa saja Chandra membeberkan informasi mengenai pekerjaan KPK atau bahkan menerima titipan pesan agar kalau terjadi 'apa-apa' bisa diamankan. Kira-kira begitulah transaksi balas budi antara Nazar cs dan Chandra Hamzah.
Singkat cerita, untuk menyanggah ada tidaknya ada perbuatan pidana dalam kongkow Nazar-Chandra tidak cukup dilihat dari waktu pertemuan dengan penetapan Nazar sebagai tersangka. Melainkan dari penelusuran isi pembicaraan dan sejak kapan kasus korupsi-kasus yang melibatkan perusahaan Nazarudin mulai dipantau oleh KPK. Nah, untuk menguak ada tidaknya tindak pidana ini maka penyidiklah yang berwenang. Begitulah aturan menurut KUHAP yang menyebutkan tugas penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang tejadi dan guna menemukan tersangkanya. Namun kalau penyidiknya tidak mau melakukan tugas penyidikannya, ya sudahlah.... Buat apa pula kita betekak.