Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisruh ini Berawal Dari Ge'eR nya KPK

25 Januari 2015   07:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:25 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ge Er, alias gede rasa adalah sifat berlebih mengukur diri sendiri atas sesuatu hal. Sehingga mengakibatkan orang salah menempatkan diri. Anda-anda yang pro Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melihat tulisan ini sebagai pemihakan terhadap Polri, bahkan pemihakan terhadap koruptor. Tak mengapa.

Kenapa saya bilang KPK gede rasa? Hal ini berawal saat Jokowi melibatkan KPK dan PPATK untuk mengetahui catatan diri atau profile calon menteri dalam kabinetnya. Hal ini disambut antusias oleh mungkin semua rakyat Indonesia, bahkan yang belum bisa baca berita di koran senang melihat langkah ini. Penggiat anti korupsi terlebih berkibar lagi, mereka merasa ada harapan baru menggolkan cita-cita mereka, yakni negeri yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Entah dari mana angin datang, lalu beredarlah kriteria warna merah, kuning dan hijau sebagai penanda tingkat bahaya perbuatan korups para calon menteri. Merah berarti tak patut dijadikan menteri oleh Presiden Jokowi, yang kuning masih dapat dipertimbangkan sedangkan yang hijau boleh lolos jadi menteri kabinet Presiden Jokowi.

Dari penandaan ini sudah kelihatan bahwa KPK ingin terlibat dalam menentukan calon menteri.

Padahal murid Sekolah Menengah Pertama saja udah ngerti bahwa menentukan menteri kabinet tersebut adalah hak prerogatif presiden. Tapi KPK mengabaikan 'prerogatif' tersebut. Saya tidak katakan oknum di sini oleh karena menurut sohibul hikayat di berbagai berita, kriteria 'merah', 'kuning', dan 'hijau' tersebut adalah produk KPK, dan KPK secara institusional tidak pernah membantah isi berita itu.

Apa itu hak prerogatif? Sederahananya berarti, sesuka-suka yang punya hak. Dia mau konsultasi dengan ketua partai, mau nanya-nanya ke tetangga, mau bisik-bisik dulu dengan mantan teman kuliah, terserah dia. Mau tanya ke ulama juga boleh. Bahkan mau bakar menyan dulu minta petunuk jin dan iblis juga boleh. Mau pake yang berseih, atau mau pake yang kotor, juga terserah si-empunya hak itu. Begitulah prerogatif bekerja.

Seharusnya, ketika Presiden meminta catatan profile seseorang kepada KPK maka KPK cukup sekedar memberikan catatan orang tersebut tanpa memberi penilaian bahwa si A lolos bersih, si B setengah lolos bersih, dan si C ga ada bersih-bersihnya. Singkatnya, KPK tak berwenang menentukan si A, B dan C lolos atau tidak jadi menteri. Kenapa? Karena hak sesuka hati Presiden untuk mementukan apakah ia ingin calon menteri yang kotor atau calon menteri yang bersih. Kan tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang Presiden memerlukan tangan kotor orang-orang yang memang kotor untuk mengurus yang kotor-kotor. Bisa saja toh? Itulah politik. makanya KPK dan penegak hukum lain jangan ikut-ikutan menentukan orang dalam jabatan politik. Karena tugas mereka adalah menindak saat yang bersangkutan berbuat kejahatan. Kalau ikut menentukan, nanti kalau ketahuan berbuat jahat jadi ewuh pakewuh menindaknya.

Kembali ke soal 'gede rasanya' KPK. Setelah pewarnaan itu ternyata tak digubris Presiden, dimana ternyata mister Presiden kita tetap me-menteri-kan orang-orang yang dianggap oleh KPK sebagai kalangan merah, akhirnya KPK kecewa. Sudah tahu itu penentuan Menteri adalah hak Prerogatif Presiden, masih merasa ikut menentukan. Tidak cukup hanya kecewa, saat Presiden tetap meloloskan kalangan merah sebagai menteri, KPK merasa bahwa kerja keras mereka tak dihargai oleh Presiden. Dan KPK bersama para penggiat anti korupsi memberikan pula catatan merah kepada Presiden Jokowi, ia diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.

Kemudian ketika pergantian Kapolri beritanya mulai berhembus, penggiat anti korupsi minta KPK dan PPATK dilibatkan. Walau sudah tahu tak akan digubris hasil rekomendasinya, lagi-lagi KPK Ge'eR merasa perlu dilibatkan. Para tokoh dan aktifis anti korupsi mendesak agar Presiden mengirimkan nama-nama calon Kapolri ke KPK. Namun, setelah tunggu punya tunggu ternyata yang terjadi adalah, Presiden mengirimkan nama calon tunggal untuk di fit and propper test oleh DPR tanpa melalui KPK maupun PPATK. Sehingga timbul tudingan pada Presiden Jokowi: 'kau yang mulai, kau yang mengakhiri'. Presiden memulai tradisi baru melibatkan KPK dan PPATK dalam menyeleksi pejabat, ternyata Presiden ini pula yang mengakhiri tradisi ini.

Kisruh pun meletus. Sehari sebelum Komisi III DPR menyelenggarakan rapat fit and propper test calon Kapolri, KPK mentersangkakan sang calon tunggal Komjen Budi Gunawan atas dugaan perbuatan korupsi. KPK mencoba memperlihatkan taringnya. Hasilnya, walau Komjen Pol. Budi Gunawan lolos fit and propper test, ia tetap tak bisa dilantik jadi Kapolri oleh karena berhadapan dengan kasus hukum atas dirinya.

Berhenti disitu? Ternyata tidak. Bareskrim Polri kemudian mentersangkakan Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto. Bukan hanya mengenakan label 'tersangka'. Polri bergerak lebih jauh, Bambang Widjoyanto ditangkap, bahkan nyaris dijeboloskan ke dalam tahanan. KPK dan Polri saling berbalas. Mereka saling 'mentersangkakan'. Di permukaan terjadi adu kuat kewenangan, padahal di balik semua ini politik sedang merayap liar. Sebuah gelombang politik sedang bergerak dengan modus penegakan hukum. Waspadalah... waspadalah....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun