Setelah ditunda-tunda, serta diiringi kontroversi pengembalian kerugian negara, serta saling sanggah antara Walkot Bandung dengan Aspidsus Kejati Jabar soal pengembalian kerugian negara sebesar 2,4 milyar rupiah, akhirnya kasus dugaan korupsi dana bansos Pemkot Bandung yang disidik Kejati Jabar sejak pertengahan September 2011, dilimpahkan juga ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung.
Pelimpahan berkas atas lima orang tersangka ini menyisakan tiga orang tersangka lagi yang belum dilimpah dan akan segera menyusul. Sedangkan satu orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Jabar, yang merupakan anggota polri yang diperbantukan sebagai ajudan Walikota Bandung dikembalikan ke kesatuannya di Polda Jabar. Tindak lanjut terhadap berkas anggota Polri tidak jelas, apakah telah disidik atau tidak. Atau malah diamankan seaman-amannya oleh institusi kepolisian.
Pelimpahan berkas perkara kasus Bansos Kota Bandung oleh Kejati Jabar sangat mendadak. Dua hari sebelumnya, yakni pada Rabu, 25 April 2012, Aspidsus Kejati Jabar mengatakan bahwa pelimpahan akan dilakukan minggu depan. Sedangkan beberapa kali sebelumnya selalu dijanjikan minggu depan akan tetapi selalu ditunda dan terus dijanjikan 'minggu depan'. Pada akhir Oktober 2011 Aspidsus yang Kejati yang dikenal tegas terhadap koruptor tersebut sempat sesumbar mengatakan bahwa perkara Bansos telah 85% rampung dan akan dilimpahkan pada awal November. Kenyataannya, dalam dua bulan terakhir pelimpahan selalu ditunda mingu depan, minggu depan, dan minggu depan lagi.
Pelimpahan dadakan dan tunda-menunda pelimpahan mengesankan posisi Aspidsus Kejati Jabar sedang terjepit oleh banyak kepentingan. Disatu sisi ia ingin segera menuntaskan dan melimpahkan berkas perkara yang telah ia rampungkan, di sisi lain ia mungkin ditekan untuk tunduk pada sebuah skenario. Dalam hal kerugian negara yang diaudit oleh BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) diwarnai dengan kesimpangsiuran jumlah kerugian negara. Aspidsus sempat melansir kerugian negara sebesar Rp 80 milyar, lalu BPKP menyebut bahwa kerugian negara sebesar Rp 9,8 (sembilan koma delapan) milyar. Sedangkan pada saat pelimpahan Aspidsus bersikeras bahwa kerugian negara yang dihitung penyidik Kejati adalah Rp 67 (enampuluh tujuh) milyar.
Kelihatannya, tertunda-tundanya pelimpahan kasus Dana Bansos Kota Bandung ini adalah dalam rangka menyetel kerugian negara. Penyidik Kejaksaan bersikukuh dengan nilai yang sejak semula mereka yakini, sementara hitungan BPKP yang merupakan lembaga berkompeten justru jauh meleset dari perkiraan penyidik. Soal selisih kerugian negara yang diaudit BPKP ini kelihatannya penghitungannya bertolak dari kuitansi yang ditengarai bodong yang ditandatangani oleh berbagai lembaga penerima (ormas dan LSM dadakan). Menurut sebuah sumber, intelijen Kejati Jabar telah mencium rekayasa ini dan telah memperoleh bukti-bukti penandatanganan kuitansi bodong pada saat penyidikan sedang giat-giatnya.
Sementara BPKP tetap menghitung berdasarkan alat bukti kuitansi, di sisi lain penyidik menganulir alat bukti kuitansi yang dipalsukan oleh karena mereka secara hukum telah menemukan bukti pemalsuan kuitansi itu. Inilah dilema penegakan hukum dalam korupsi. Jika auditor yang seharusnya jeli menelaah berkas dan dokumen arus uang, justru gelap mata terhadap kenyataan bahwa dokumen yang ia periksa adalah hasil rekayasa. Jika saja kelak bisa dibuktikan di pengadilan bahwa dasar perhitungan BPKP tersebut terbukti rekayasa maka auditor BPKP seharusnya kena tindak pidana 'upaya menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi'.
Modus penyelamatan korupsi dengan cara bersekongkol dengan auditor ini patut diwaspadai. Publik harus menyoroti peran auditor negara seperti BPK maupun BPKP. Rupanya selain dengan surat dokter, modus lain menyelamatkan koruptor adalah dengan rekayasa hasil audit. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bukan hanya meminimalisir jumlah kerugian, melainkan bisa saja dengan modus pernyataan auditor yang mengatakan bahwa tidak ditemukan kerugian negara. Dengan tiadanya kerugian negara maka dakwaan jaksa akhirnya batal demi hukum karena unsur dari tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian negara.
Semoga saja bukti-bukti yang telah disita oleh Kejati Jabar yang jumlahnya sampai tiga mobil box bisa menganulir perhitungan BPKP. Dan jika kelak perhitungan BPKP dianulir sebagai alat bukti dan keyakinan hakim lebih pada alat bukti yang disita maka tamatlah riwayat BPKP sebagai auditor. Peran BPKP yang selama ini hanya berpayung Inpres jaman Presiden Soeharto sudah seharusnya dieliminir dalam sistem dan kelembagaan audit di Indonesia. Semoga saja para penyidik kejaksaan yang telah bekerja berat dan penuh keberanian melawan rongrongan dari para pejabat dan elit jakarta mampu menyentuh nurani hakim yang kelak mengadili perkara ini. Semoga keadilan ditegakkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H