Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kampung Mbah Marijan Delapan Bulan Setelah Letusan Merapi

29 Juni 2011   08:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:04 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_119612" align="alignleft" width="300" caption="Selamat Datang di Kinahrejo"][/caption] Tanggal 20 Juni 2011 yang lalu saya sempat mampir di desa Cangkringan, desanya Mbah Marijan almarhum. Saya sempat menyaksikan bekas kehidupan yang diterjang lahar panas Gungung Merapi delapan bulan setelah peristiwa. Lembah dan bukit yang gersang, melulu hamparan pasir sisa letusan. Pepohonan yang tegak tak berdaun, hanya menyisakan cabang dan ranting yang mengering. Bentang alamlah yang berbicara banyak meninggalkan kesan betapa dahsyatnya bencana itu. Sedangkan wajah para penduduk kampung seperti tak lagi berduka. Mereka malah lebih ceria dari para pengunjung yang kebanyakan kecapean entah karena perjalanan jauh atau karena terpaksa berjalan kaki menyusuri jejak letusan merapi. Saat kami meminta tolong memotret kami pada salah seorang penjaja CD dokumentasi letusan merapi, ia mencoba 'membohongi' kami dengan meminta kami bilang 'jahe' sebelum menjepretkan kamera ke arah kami. Saya dan rekan sepetualangan pun bilang: 'jaheee...' dan jepreeet.... hasil jepretannya membuat kami puas karena kami terlihat sedang tersenyum dalam bingkai foto. Trik yang bagus dan lucu. Di kampung Mbah Marijan yang terletak di Dusun Kinahrejo Desa Umbulharjo tak ada lagi rumah yang berdiri tegak. Para penghuni yang semula berdiam di dusun itu masih berada di shelter-shelter pengungisan. Dua buah bangunan yang kelihatannya baru didirikan adalah sebuah masjid yang dibangun kembali di atas tapak masjid yang lama, serta sebuah rumah berukuran sekitar 4 X 6 meter milik Mursani Asih, putri almarhum Mbah Marijan. Masjid itu dibangun untuk keperluan pengunjung yang datang ke bekas kampung Mbah Marijan. Sedangkan rumah  putri Mbah Marijan yang dibangun persis di depan bekas rumah Mbah Marijan (alm) sesungguhnya tidak dihuni secara permanen melainkan tempat berdagang dan untuk peristirahatan para pejabat yang ingin menyambangi Merapi. Bekas tapak rumah Mbah Maridjan dipagari sekeliling, dan di tempat dimana jasad beliau ditemukan dibangun pondok (saung) dengan papan menggantung disalah satu tiangnya bertuliskan 'rumah Mbah Maridjan'. Hanya sekitar 5-10 meter sebelah kiri rumah adalah bibir Kali Opak yang tak lagi mengalirkan air. Sungai ini juga kelihatannya telah menjadi almarhum seiring dengan para penghuni dusun yang menjadi korban dalam peristiwa yang terjadi mendadak pada 26 Oktober 2010 itu. Kehidupan di bekas kampung si Mbah yang teguh pendirian ini belum lagi bermula, bahkan setelah delapan bulan sejak bencana itu berlalu. Mungkin tak ada niat para penduduk untuk kembali atau memang sudah tak ada daya untuk segera memulai kehidupan baru di atas tanah yang masih meninggalkan bekas penderitaan para korban. Proses untuk membangkitkan kembali daya juang untuk memulai kehidupan di bekas dusun itu musti berlomba dengan rencana pemerinah untuk merelokasi mereka yang hingga kini masih berdiam di pemukiman darurat yang dibuat oleh pemerintah. Pemukiman darurat itu, mereka sebut shelter. Bagi mereka yang masih berharap, mereka memulai dengan membuka warung-warung kecil melayani pengunjung yang katanya ramai setiap ujung minggu dan pada saat liburan. Bekas penduduk kampung itu terpaksa bolak-balik dari shelter ke kampung mereka untuk berdagang kecil-kecilan. Mereka tak tahu kapan bisa memulai untuk kembali menetap di bekas kampung mereka, di sisi lain pemerintah pun tak ingin mendorong dan membantu mereka untuk kembali bermukim area yang sering kali terancam letusan merapi. Akhirnya baik masyarakat maupun pemerintah, berpasrah pada waktu, apakah masyarat akan menyerah untuk minta direlokasi atau tetap ngotot berjuang untuk kembali ke kampung mereka. Intuisi saya, waktu akan berpihak pada warga yang berpasrah pada ancaman letusan Merapi. Tanda-tanda itu terlihat dari aktifitas dagang yang ramai di bekas perkampungan. Tak hanya itu, hanya sekitar dua kilometer dari ke arah bahwa bekas kampung Mbah Maridjan itu beberapa penginapan sudah mulai beroperasi. Ini berarti riak kehidupan sosial ekonomi telah bermula. Lagipula, dari arah lereng merapi sekitar Dusun Kinahrejo itu, kita bisa melempar pandangan ke arah Jogja dan hamparan alam yang mengitarinya, sebuah hamparan bentang alam yang fantastis. Bahkan dengan sisa-sisa letusan yang membawa bencana itu, justru melengkapi sempurnanya pemandangan. Kinahrejo dan sekitarnya masih memiliki magnet kehidupan. Terbukti, saat saya berkunjung banyak rombongan siswa yang baru memulai libur akhir tahun ajaran yang datang berkunjung, dan tak kurang pula keluarga yang sengaja datang dari Magelang, Semarang dan Kota lainnya sengaja datang berwisata di lereng Merapi yang porakporanda itu. Sungguh luar biasa bekas yang disisakan oleh gejolak alam. Disatu sisi ia sangat menakutkan di sisi lain menakjubkan. Pada saat ia membawa derita, ia juga meninggalkan harapan. Begitulah kesan yang aku dapat dari perjalanan singkat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun