Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi, Politik Nilai Versus Politik Harga

11 Juli 2013   18:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:41 2384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_274314" align="alignleft" width="222" caption="komunitas relawan Jokowi Presiden RI dengan penyanyi jalanan di kota bandung"][/caption] Jokowi di mata saya bukan hanya gubernur DKI, bukan hanya calon presiden yang diinginkan oleh berbagai komunitas relawan yang bermunculan, bukan pula sekedar tokoh yang memopulerkan gerakan blusukan. Jokowi di mata saya adalah kebalikan dari seluruh cara pandang tentang politik di negeri kita, Republik Indonesia. Dia adalah antitesa terhadap kemapanan tata nilai dalam berpolitik. Berikut ini ulasan saya: Jokowi Style Langkah Jokowi yang mencerminkan dirinya sebagai antitesa terhadap nilai-nilai politik lama, dapt dilihat dari cara atau gayanya sejak menjadi kandidat maupun setelah menjabat sebagai Gubernur DKI jakarta, yang membuat ia beda dengan tokoh atau pejabat lainnya yang sudah dikenal luas di masyarakat. Berikut ini beberapa, diantaranya: 1. Atribut baju kotak-kotak. Keputusan Jokowi - Ahok memilih baju kotak-kotak sebagai atribut diri dan pendukungnya dalam Pilgub DKI adalah perlawanan tradisi lama, yakni tradisi kaos oblong. Kaos oblong sebagai atribut massa dalam kampanye politik merupakan tradisi yang setahu saya sudah ada sejak jaman era Orde Baru. Dengan kaos oblong, antara massa akar rumput dan kaum elit mudah dipisahkan karena sering kali kaos oblong yang dikenakan massa berupa kaos oblong murahan dari 'daur ulang' pabrik tekstil pada event-event politik sebelumnya. Namun dengan atribut baju kotak-kota yang digagas Jokowi-Ahok, antara massa dengan elit membaur dalam satu kelas. Begitu pandangan subjektif saya tentang hal yang satu ini. 2. Pelantikan Pejabat Ini tradisi baru. Benar-benar orisinil, tidak hanya bila disandingkan dengan sejarah Indonesia modern. Bahkan bila ditilik sampai ke jaman Sriwijaya dan Majapahitpun, baru pada era Jokowilah pelantikan pejabat tidak dilakukan di tempat-tempat megah. Pelantikan pejabat di lingkungan pemda DKI Jakarta oleh gubernur Joko Widodo dilakukan di lapangan, bahkan di tempat kumuh. Sungguh, ini adalah kebalikan dari tradisi lama. Tak bisa disangkal. 3. Blusukan Aha.... hal ini sesungguhnya bukan hal baru. Jaman Orba sudah  dikenal  istilah Turba (turun ke bawah, maksudnya langsung ke masyarakat). Namun di era Jokowi kegiatan lapangan ini menjadi beda karena tidak memperlihatkan aktifitas protokoler yang menonjol. Di tangan Jokowi, kegiatan turba atau blusukan ini menjadi terasa spontan dan penuh kepedulian. Masih banyak hal yang menjadi ciri khas Jokowi yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu pada tulisan ini. Namun diantara tiga hal yang telah saya sebutkan, adalah style blusukan ini yang identik atau melekat dengan gaya Jokowi selama ini. Blusukan ini mencerminkan bahwa Jokowi mau bersama dan hadir dalam setiap persoalan rakyat yang dipimpinnya. Jokowi tak pernah memaparkan visi yang muluk-muluk dengan kalimat yang melambai-lambai dan membuai. Sehingga sebagian orang meragukannya untuk tampil sebagai Calon Presiden. Akan tetapi jika dilihat dari tiga style yang saya sebutkan sebenarnya Jokowi adalah pemimpin visioner. Ia menterjemahkan visinya dengan perbuatan, bukan dengan rangkaian kata-kata indah yang sok akademis. Komunitas Relawan dan Politik Nilai Seperti saya posting pada tulisan sebelumnya, popularitas Jokowi dengan berbagai langkah kepemimpinannya di DKI Jakarta menumbuhkan simpati hingga ke luar Jakarta. Tidak hanya dalam negeri bahkan di luar negeri. Tidak hanya warga negara Indonesia di luar negeri yang menaruh simpati pada gaya Jokowi, akan tetapi orang asing pun menaruh perhatian sampai-sampai salah seorang kolumnis di Asutralia memadankan Jokowi dengan obama (lihat di sini). Pertumbuhan berbagai komunitas relawan di penjuru tanah air bertujuan mengekpresikan harapan agar Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2014. Komunitas ini bertumbuh marak di media sosial Facebook, namun ada beberapa yang telah bermigrasi di dunia nyata dengan berbagai aktifitas sosialisasi langsung ke berbagai kelompok masyarakat. Komunitas relawan tidak punya keterkaitan dengan partai politik dan tidak pula memiliki hirarki organisasi. Keberadaan komunitas relawan ini adalah sebuah perwujudan partisipasi publik yang spontan. Sehingga dengan demikian tidak tidak bersifat transaksional, melainkan semata-mata karena melihat harapan pada sosok Jokowi. Tidak ada bargaining politik antara kelompok relawan dengan sosok yang diusung maupun antara komunitas relawan dengan partai yang akan mengusung. Kehadiran komunitas relawan di berbagai lapisan dan kelompok masyarakat tebentuk karena adanya harapan. Harapan pada kepemimpinan yang terpercaya yang mampu membawa kesejahteraan dan keadilan bagi bangsanya. Ini adalah kebalikan dari kelesuan harapan terhadap politik karena melarutnya kekecewaan masyarakat atas kinerja partai dan elit politik selama ini. Dengan kehadiran sosok Jokowi, kelesuan harapan tersebut ditanggulangi dengan munculnya harapan baru. Jika Jokowi Tak Jadi Capres Tantangan terbesar bagi barisan relawan adalah oleh karenaa ada perbenturan antara syarat yuridis

13735404681400647867
13735404681400647867
normatif dengan kehendak rakyat (yang diwakili para relawan). Yuridis normatif mengharuskan seoarang kandidat presiden harus diusung melalui partai politik. Sementara di sisi yang lain, para relawan bukanlah aktifis partai dan tidak ada afiliasi dengan partai politik (sejauh yang saya ketahui). Komunitas relawan tidak punya akses kepada struktural partai untuk mengkomunikasikan aspirasinya, kecuali berharap bahwa para elit partai dapat menyerap aspirasi mereka yang tertuang di media (baik media sosial maupun media massa konvensisonal). Melihat kendala yuridis normatif serta keberjarakan relawan dengan partai, maka gerakan mendukung Jokowi kelihatannya rasanya seperti menggantang asap. Mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Menggantungkan harapan pada sesuatu yang tak bisa dijangkau. Namun jika ditelisik lebih dalam, gerakan relawan ini bukan semata-mata pada persoalan apakah jokowi akan mewujud sebagai kandidat Presiden pada tahun 2014 atau tidak. Tetapi gerakan relawan ini adalah sebuah perlawanan terhadap kemapanan politik yang selama ini dikendalikan melalui partai politik sementara hasilnya tidak aspiratif. Jika selama ini rakyat hanya menerima sodoran kandidat (calon legislatif maupun calon eksekutif) dari partai, kali ini giliran rakyat melalui komunitas relawan untuk menyodorkan kandidat kepada partai. Jika selama ini pencalonan seorang tokoh didasarkan pada hasil tawar menawar antar partai tanpa melihat kehendak arus bahwa, maka dengan adanya relawan Jokowi Presiden RI maka keadaan akan berubah atau setidaknya semakin terkikis. Kejenuhan rakyat atas politik uang yang selama ini menyelusup dalam setiap event dan mekanisme politik, akan mendapat perlawanan dari gerakan sukarelawan yang tak hirau dengan iming-iming kepentingan sesaat. Sukarelawan yang menyuarakan agar Jokowi jadi presiden RI tahun 2014 adalah sebuah gerakan 'politik nilai', yang tentunya berhadapan dengan 'politik harga' yang selama ini marak di kancah politik nasional maupun lokal. Salam Rela.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun