[caption id="attachment_274314" align="alignleft" width="222" caption="komunitas relawan Jokowi Presiden RI dengan penyanyi jalanan di kota bandung"][/caption] Jokowi di mata saya bukan hanya gubernur DKI, bukan hanya calon presiden yang diinginkan oleh berbagai komunitas relawan yang bermunculan, bukan pula sekedar tokoh yang memopulerkan gerakan blusukan. Jokowi di mata saya adalah kebalikan dari seluruh cara pandang tentang politik di negeri kita, Republik Indonesia. Dia adalah antitesa terhadap kemapanan tata nilai dalam berpolitik. Berikut ini ulasan saya: Jokowi Style Langkah Jokowi yang mencerminkan dirinya sebagai antitesa terhadap nilai-nilai politik lama, dapt dilihat dari cara atau gayanya sejak menjadi kandidat maupun setelah menjabat sebagai Gubernur DKI jakarta, yang membuat ia beda dengan tokoh atau pejabat lainnya yang sudah dikenal luas di masyarakat. Berikut ini beberapa, diantaranya: 1. Atribut baju kotak-kotak. Keputusan Jokowi - Ahok memilih baju kotak-kotak sebagai atribut diri dan pendukungnya dalam Pilgub DKI adalah perlawanan tradisi lama, yakni tradisi kaos oblong. Kaos oblong sebagai atribut massa dalam kampanye politik merupakan tradisi yang setahu saya sudah ada sejak jaman era Orde Baru. Dengan kaos oblong, antara massa akar rumput dan kaum elit mudah dipisahkan karena sering kali kaos oblong yang dikenakan massa berupa kaos oblong murahan dari 'daur ulang' pabrik tekstil pada event-event politik sebelumnya. Namun dengan atribut baju kotak-kota yang digagas Jokowi-Ahok, antara massa dengan elit membaur dalam satu kelas. Begitu pandangan subjektif saya tentang hal yang satu ini. 2. Pelantikan Pejabat Ini tradisi baru. Benar-benar orisinil, tidak hanya bila disandingkan dengan sejarah Indonesia modern. Bahkan bila ditilik sampai ke jaman Sriwijaya dan Majapahitpun, baru pada era Jokowilah pelantikan pejabat tidak dilakukan di tempat-tempat megah. Pelantikan pejabat di lingkungan pemda DKI Jakarta oleh gubernur Joko Widodo dilakukan di lapangan, bahkan di tempat kumuh. Sungguh, ini adalah kebalikan dari tradisi lama. Tak bisa disangkal. 3. Blusukan Aha.... hal ini sesungguhnya bukan hal baru. Jaman Orba sudah dikenal istilah Turba (turun ke bawah, maksudnya langsung ke masyarakat). Namun di era Jokowi kegiatan lapangan ini menjadi beda karena tidak memperlihatkan aktifitas protokoler yang menonjol. Di tangan Jokowi, kegiatan turba atau blusukan ini menjadi terasa spontan dan penuh kepedulian. Masih banyak hal yang menjadi ciri khas Jokowi yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu pada tulisan ini. Namun diantara tiga hal yang telah saya sebutkan, adalah style blusukan ini yang identik atau melekat dengan gaya Jokowi selama ini. Blusukan ini mencerminkan bahwa Jokowi mau bersama dan hadir dalam setiap persoalan rakyat yang dipimpinnya. Jokowi tak pernah memaparkan visi yang muluk-muluk dengan kalimat yang melambai-lambai dan membuai. Sehingga sebagian orang meragukannya untuk tampil sebagai Calon Presiden. Akan tetapi jika dilihat dari tiga style yang saya sebutkan sebenarnya Jokowi adalah pemimpin visioner. Ia menterjemahkan visinya dengan perbuatan, bukan dengan rangkaian kata-kata indah yang sok akademis. Komunitas Relawan dan Politik Nilai Seperti saya posting pada tulisan sebelumnya, popularitas Jokowi dengan berbagai langkah kepemimpinannya di DKI Jakarta menumbuhkan simpati hingga ke luar Jakarta. Tidak hanya dalam negeri bahkan di luar negeri. Tidak hanya warga negara Indonesia di luar negeri yang menaruh simpati pada gaya Jokowi, akan tetapi orang asing pun menaruh perhatian sampai-sampai salah seorang kolumnis di Asutralia memadankan Jokowi dengan obama (lihat di sini). Pertumbuhan berbagai komunitas relawan di penjuru tanah air bertujuan mengekpresikan harapan agar Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2014. Komunitas ini bertumbuh marak di media sosial Facebook, namun ada beberapa yang telah bermigrasi di dunia nyata dengan berbagai aktifitas sosialisasi langsung ke berbagai kelompok masyarakat. Komunitas relawan tidak punya keterkaitan dengan partai politik dan tidak pula memiliki hirarki organisasi. Keberadaan komunitas relawan ini adalah sebuah perwujudan partisipasi publik yang spontan. Sehingga dengan demikian tidak tidak bersifat transaksional, melainkan semata-mata karena melihat harapan pada sosok Jokowi. Tidak ada bargaining politik antara kelompok relawan dengan sosok yang diusung maupun antara komunitas relawan dengan partai yang akan mengusung. Kehadiran komunitas relawan di berbagai lapisan dan kelompok masyarakat tebentuk karena adanya harapan. Harapan pada kepemimpinan yang terpercaya yang mampu membawa kesejahteraan dan keadilan bagi bangsanya. Ini adalah kebalikan dari kelesuan harapan terhadap politik karena melarutnya kekecewaan masyarakat atas kinerja partai dan elit politik selama ini. Dengan kehadiran sosok Jokowi, kelesuan harapan tersebut ditanggulangi dengan munculnya harapan baru. Jika Jokowi Tak Jadi Capres Tantangan terbesar bagi barisan relawan adalah oleh karenaa ada perbenturan antara syarat yuridis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H