DPR merasa dibokong oleh kenaikan harga gas, karena Pertamina menaikkan harga pada saat berlangsung reses. Di sisi lain, presiden 'protes' atas kebijakan Pertamina dan menyarankan agar kenaikan harga gas ditinjau ulang. Sementara di berbagai belahan negeri terjadi disparitas harga gas, ada yang 'hanya' Rp 131.000,- dan ada pula yang mencapai Rp 250.000,-.
Apa yang terlihat dari pernyataan atau sikap para pemimpin ini? Entah mereka-mereka ini sedang bersandiwara atau sedang memainkan bola politik. Namun yang tampak adalah, bahwa para pemegang otoritas di negeri ini berjalan sendiri-sendiri. Seakan tak ada pemimpin yang mengarahkan. Tak ada kendali tunggal.
Kita memang tak mengalami disintegrasi atau perpecahan wilayah. Tetapi cara para pemegang otoritas negeri ini memperlihatkan bahwa negeri kita dikelola secara sendiri-sendiri. Masing-masing mengurus serpihan yang menjadi bagiannya. Presiden tak tahu apa yang dilakukan oleh institusi di bawahanya, sedangkan perwakilan rakyat juga tak bisa mengontrol apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Patutlah terjadi perbenturan otoritas seperti KPK versus Polri beberapa waktu yang lalu. Jangan heran pula bila Mahkamah Agung (MA) bersitegang dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal audit PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang diterima oleh peradilan di bawah MA sebagai biaya pendaftaran perkara. Serta masih banyak lagi kasus dimana pemergang otoritas, baik di tingkat daerah maupun di pusat pemerintahan terjadi disharmoni atau malah perbenturan kebijakan.
Di dalam negara yang terurai ini, setiap pemegang otoritas lebih mengedepankan wewenangnya dari pada tanggungjawabnya. Maka bukan hal yang aneh ketika seorang Bupati berani memboikot penerbangan di daerahnya karena kepentingannya diacuhkan oleh perusahaan penerbangan. Pak Bupati merasa berwenang mengerahkan Satpol PP untuk memblokir bandara karena wewenangnya sebagai Bupati seakan dilecehkan perusahaan penerbangan yang justru memakai bagian dari wilayah kekuasaannya sebagai landasan.
Setiap institusi mengutamakan wewenangnya. Kalau terjadi perbenturan, tinggal dicari titik kompromi. Kemudian berjalan seperti biasa, kembali pada selera melampiaskan wewenang masing-masing.
Apakah pengutamaan wewenang ini hanya terjadi di level pemangku kebijakan? Ternyata tidak. Level rakyat, khususnya rakyat dari golongan pengusaha, juga punya wewenang yang diterjemahkan sebagai 'hak'. Atas nama hak, setiap yang berkepentingan 'wajib' mendahulukan kepentingannya.
Makanya di level rakyat golongan pengusaha tak segan-segan melakukan praktek spekulan. Mereka menimbun bahan dagangan atau komoditi, sehingga sering terjadi kelangkaan di pasar. Jangankan beras dan daging, bahkan jengkol dan cabe pun bisa mengalami kelangkaan sehingga harga melambung setinggi-tingginya. Rakyat ini beranggapan bahwa hak pedagang adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya sehingga mereka boleh saja melakukan praktek spekulan. Dalam negeri yang terurai ini setiap kelompok berhak dan berwenang mengutamakan kepentingannya.
Di tahun-tahun biasa pun terjadi upaya mengedepankan wewenang dan kepentingan. Terlebih di tahun politik yang memang wajib hukumnya untuk bersaing dan memperebutkan porsi kepentingan. Sehingga rakyat kebanyakan yang tak mampu melampiaskan wewenangnya karena demikian lemahnya, tinggal menunggu nasib.
Namun yang mengkhawatirkan adalah jika para pemegang senjata di negeri ini mulai secara terang-terangan mengedepankan wewenangnya, dengan menggunakan senjata pula. Terlebih bila ditimpali pula oleh luapan kegelisahan rakyat akan kesulitan hidup yang semakin membebani. Maka negeri kita bukan lagi cuma terurai tetapi berantakan, pecah berkeping-keping.
Selama ini kita hadir terurai di atas wadah yang masih utuh atau setidaknya layak pakai. Tapi jika perbenturan kepentingan memuncak maka bukan mustahil wadahnya ikut pecah berantakan sehingga entitas Indonesia hilang dari peta peradaban dunia.