Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Listiyo Fitri berjudul Bersama Orang Jepang. Saya ingin mengupas sedikit dari sisi lain.
Mulanya berasal dari rasa kaget saya atas mahalnya biaya imunisasi, saya jadi teringat dulu ketika saya masih Sekolah Dasar sering kali diadakan imunisasi gratis. Saya lupa ada berapa jenis imunisasi, tetapi yang terkenal saat itu adalah cacar. Saya kemudian berpikir: oh... rupanya tiga puluh tahun yang lalu digratiskan sebagai bagian promosi.
Ada banyak tanda tanya saya terhadap berbagai program pembangunan yang melibatkan dana asing, entah bantuan, entah pinjaman lunak, entah hibah, hanya pemerintah dan pengelola anggaranlah yang tahu. Bahkan sering kali lembaga swadaya masyarakat yang mengerjakan program tersebut tidak tahu pasti apakah anggaran tersebut pinjaman, hibah atau bentuk komitmen lainnya.
Suatu hari saya kaget sekaligus tersinggung diam-diam mendengar ada Program Cuci Tangan dari sebuah lembaga donor yang dananya mencapai milyaran. Saya yang lahir dan kecil dipojok kepulauan Republik Indonesia ini (yakni di Pulau Nias), sejak tahun 70-an sudah diajari cuci tangan oleh orang tua saya. Waktu itu sih dalihnya menghindari cacingan. Lha, rakyat Indonesia yang mayoritas muslim dengan kewajiban sholat 5 X sehari yang didahului dengan berwudhu, apakah perlu diajari oleh orang asing untuk cuci tangan? Pada awal tahun ini, saya membaca iklan setengah halaman di berbagai media massa cetak serta tayangan iklan televisi, ternyata telah ada satu 'hari penting' bagi dunia, yakni HARI CUCI TANGAN SEDUNIA (saya lupa tanggal dan harinya)
Ah, dana milyaran dihabiskan hanya sosialisasikan agenda cuci tangan. Sedunia pula. Sementara yang mati karena busung lapar, sekalipun telah berulang kali dilaporkan tidak pernah turun dana hibah.
Apakah para kompasianer masih ingat keluarga Iwan Siswara (alm) yang sekeluarga meninggal minus istrinya di Tangerang? Kematian almarhumlah yang menjadi tonggak mencuatnya isu virus flu burung di Indonesia. Tapi ketika berusaha membenar-benarkan diagonasa itu, betapa simpangsiurnya informasi mengenai ke negara mana almarhum terakhir berkunjung sebelum meninggal. Awalnya disebut, ke Hongkong, kemudian diralat ternyata ke Singapura, kemudian diralat lagi, dan ternyata kunjungan terakhir ke negara Eropa (yang hingga sekarang tidak pernah terserang flu burung secara meluas).
Kita kemudian disodori berita bahwa Depkes dan Deptan sempat berebut anggaran (entah bantuan, entah hibah, entah pinjaman) program penanggulanan flu burung. Entah berapa triliun dana yang dialokasikan. Tak lama kemudian kontroversi pidato Menkes yang membongkar cara-cara imperialisme negara maju dalam protokoler pengiriman strain virus. Kedok imperialisme hampir saja terbongkar akan tetapi kemudian tertutup lagi, dilanjutkan dengan kasus laboratorium NAMRU yang sempat rame tapi kemudian lenyap.
Dari beberapa obrolan saya dengan teman-teman penggiat LSM, saya melihat bahwa pola yang diterapkan pemerintah Jepang (sebagaimana ditulis oleh Listyo Fitr) juga dilaksanakan oleh negara-negara lain pemberi bantuan dan/atau pinjaman. Modusnya persis sama. Bahkan sering kali dana pinjaman pemerintah kepada Bank Dunia (lembaga keuangan internasional lainnya) sebagiannya disalurkan melalui lembaga donor asing (internasional) yang kemudian menyalurkannya melalui LSM lokal dalam negeri seakan-akan dana tersebut adalah dana hibah lembaga donor internasional tersebut. Betap mata kita telah terabui oleh cara-cara imperialisme pembangunan berkedok 'kerja sama', 'bantuan', serta berbagai istilah muluk lainnya.
Tapi yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa anak-anak bangsa kita yang bekerja pada lembaga-lembaga internasional tersebut, sekalipun digaji jauh di bawah pegawai berbangsa asing, ketika ke daerah dan bertemu dengan lembaga-lembaga lokal mereka selalu berlagak bak tuan meneer. Makanya beberapa waktu lalu, saya menuliskan disini sebuah catatan yang menggambarkan bahwa cita-cita merdeka bangsa kita itu bermula dari tindakan diskriminasi penggajian pegawai pribumi dengan pegawai belanda. Sekarang, mereka yang bekerja pada tuan meneer itu malah lebih bersikap imperialis kepada bangsanya sendiri. Dari perilaku pegawai pribumi di lembaga internasional itu, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Paulo Fraire bahwa kaum tertindas cenderung mengadopsi perilaku penindasnya.***
Tulisan Terkait: Jaman Normal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H