Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum Kita Semakin Brutal

22 April 2012   15:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:16 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak terkejut atas berita penetapan Siti Fadilah Supari menjadi tersangka korupsi. Saya tak pernah terkejut setiap kali ada yang jadi tersangka. Karena sepanjang pengamatan saya, adanya tesangka korupsi bukanlah karena hukum ditegakkan, melainkan karena tersangka lagi apes. Seseorang harus dikorbankan untuk memperlihatkan kepada publik bahwa hukum dan aparatnya bekerja memberantas korupsi.

Justru yang bikin saya kaget pada penetapan Siti Fadila Supari jadi tersangka adalah ungkapan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Saud Usman Nasution yang mengatakan: "tersangka Siti Fadillah tidak "mengantongi" uang hasil korupsi. Namun kebijakannya saat itu menjabat sebagai Menkes membuat orang lain melakukan tindakan korupsi, sehingga negara dirugikan (sumber dari sini).

Saya ulangi dengan cetak miring: Siti Fadila tidak "mengantongi" uang hasil korupsi. Namun Kebijakannya saat itu menjabat sebagai Menkes membaut orang lain melakukan tindakan korupsi". Wah... wah... wah... alangkah mengerikan uraian Kadiv Humas Mabes Polri ini. Seseorang bisa jadi tersangka karena kebijakannya membuat orang lain melakukan tindakan korupsi sehingga negara dirugikan. Apakah Polri tidak tahu bahwa semua peristiwa korupsi terjadi di atas rel kebijakan yang dipelintir oleh orang-orang serakah yang memegang kewenangan.

Katakanlah misalnya, kepres 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Amanat Kepres ini adalah agar pelelangan barang dan jasa pemerintah dilakukan dengan sistem elektronik. Lalu yang terjadi adalah hanya para peserta tender yang bisa mengakses informasi lelang. Masyarakat umum tidak bisa mengakses informasi ini. Kemudian yang terjadi adalah para panitia membocorkan spesifikasi barang dan harga perkiraan sementara kepada para kroninya serta membuat aturan-aturan yang kira-kira tak diduga sebelumnya oleh pesaing kroninya.  Dengan demikian harga penawaran tidak jauh meleset dari harga perkiraan sementara (HPS) yang ditetapkan oleh panitia lelang.

Seringkali terjadi bahwa barang telah berada di gudang calon pemenang bahkan setahun sebelum proyek pengadaan ditenderkan. Hal ini bisa terjadi karena kolusi yang sangat tertutup rapi dengan cover lelang elektronik ini lebih mudah memastikan calon pemenang, oleh karena hanya yang punya akses kuat kepada panitia dan pejabat yang berwenanglah yang memiliki akses informasi yang seharusnya rahasia.

Apakah dengan modus operandi korupsi dalam kasus pelelangan barang seperti ini, kelak presiden SBY akan diseret ke meja hijau dengan dalih bahwa kebijakannya telah membuat orang lain memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara? Tentu saja bisa, jika cara pikir Kadiv Humas Mabes Polri mewakili cara pikir institusi polri.

Bukan saja hanya presiden yang bisa diseret sebagai tersangka korupsi, melainkan semua orang yang pernah membuat kebijakan, terlebih mereka yang mengesahkan Undang-undang, yaitu anggota DPR yang terhormat.

Tidak ada peraturan perundangan maupun kebijakan yang bisa menutup dengan sempurna peluang kejahatan. Jadi, kalaupun ada kebijakan yang memberi peluang untuk terjadinya kejahatan korupsi maka seharusnya harus diurut perbuatan sebelum dibuatnya kebijakan sehingga dapat diungkap motif dan perbuatan yang melatarbelakangi keluarnya kebijakan tersebut apakah memang bermaksud merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain. Seandainya saja Siti Fadila Supari telah bertemu dengan pengusaha pengadaan barang dan membahas dan merancang sebuah produk kebijakan yang menguntungkan si pengusaha, maka patutlah dia dijadikan tersangka. Namun dari keterangan yang disampaikan Kadiv Humas tak menjelaskan demikian melainkan semata-mata karena kebijakannya sambil menambahkan pula bahwa Siti Fadila Supari tidak "mengantongi" uang hasil korupsi itu. Ada apa ini?

Dari penjelasan Kadiv Humas Mabes Polri tersebut, ditambah dengan simpang siurnya informasi soal penetapan status tersangka terhadap Siti Fadilla Supari yang kadang dibantah kadang diiyakan secara diplomatis oleh pejabat Polri, jelaslah bahwa Polri sedang mempermainkan hukum. Entah untuk kepentingan siapa. Setelah Kejaksaan Agung mengumumkan ke publik bahwa ada SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dari Mabes Polri kepada Kejaksaan Agung, barulah Mabes Polri mengakui penetapan status Siti Fadila Supari sebagai tersangka, walaupun belum pernah diperiksa. Lagi-lagi, ada apa ini?

Penegakan hukum dengan penjelasan yang plin plan seperti itu tidak lain dari cara-cara brutal memanfaatkan hukum untuk mendiskreditkan orang lain. Entah itu untuk kepentingan politik atau untuk kepentingan lain di luar upaya penegakan hukum. Sampai kapan kita bisa bertahan dalam kebrutalan hukum semacam ini? ....***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun