Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Politik

Calon Menteri dari Politisi Kualitas Bocoran di Negeri Para Bocor

16 April 2016   22:35 Diperbarui: 16 April 2016   22:41 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kali ini saya menemukan lagi idiom baru dalam khasanah politik negeri kita, yakni "bocoran politik". Berikut kisah penemuan ini.

Alkisah, minggu lalu ketika santer berita akan terjadi reshufle kabinet Jokowi-JK, media sosial diramaikan oleh desas desus daftar menteri yang diganti dan yang menggantikannya. Entah ada berapa versi yang saya terima baik melalui sms maupun melalui aplikasi WA. Hampir semua memulai dengan kata "bocoran istana", atau ada juga yang mengatakan "bocoran dari redaksi berita bla bla bla."

Menanggapi informasi yang demikian, saya biasanya mengabaikannya atau paling hanya membalas dengan singkat: "ah... bocornya kegedean".

Sejak itu saya jadi rajin gunakan kata bocor. Saat rame isu pembelian kendaraan anggota DPRD Jawa Barat senilai Rp 50 milyar, saya hanya komentar singkat: "itu memang hak pejabat yang bocor".

Kembali ke soal calon menteri yang dibroadcast dan diaku-aku sebagai info bocoran. Saya hanya bisa tertawa geli campur jengkel menanggapi berita bocoran itu. Saya menganggap bahwa "bocoran" yang tersebar itu adalah bentuk promosi ambisi dari kalangan tertentu yang namanya ingin dimasukkan dalam kandidat menteri. Artinya, politisi kita ternyata cuma politisi bocoran. Mau jadi menteri aja pake bocoran, ga pake usaha. "Berprestasi dikit kek, ga usaha main bocor segala", gumam saya dalam hati.

Dari kisah bocoran calon menteri itu, saya jadi teringat ke belakang, betapa kata bocoran menjadi olok-olok saat kampanye pilpres. Saat itu Pak Prabowo yang menjadi salah satu kandidat Presiden mengemukakan bahwa APBN kita bocor sampai lebih dari 30% (tiga puluh persen). Sinyalemen ini malah jadi olok-olok di media sosial, bukannya dikaji dengan keprihatinan. Giliran daftar calon menteri yang bocor, malah dibahas serius. "Dasar analis kualitas bocor", saya bergumam lagi, dan lagi.

Masih ada satu hal lagi bocoran yang sempat mengguncang dan jadi drama panjang. Yakni saat era kepemimpinan SBY. Saat itu Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) KPK atas diri Anas Urbaningrum bocor ke publik. Apa hasil bocoran itu? Sekretaris Ketua KPK saat itu, Abraham Samad, dianggap sebagai biang kerok dan dipecat. Sementara itu kasus dugaan korupsi terkait Anas Urbaningrium terkatung-katung dan baru setahun kemudian yang bersangkutan diperiksa. Lagi-lagi, hanya bocoran yang diurus sedangkan nasib Anas Urbaningrum saat itu dibiarkan terombang ambing. Penegakan hukum kualitas bocoran rupanya.

Inilah negeri kita. Seakan kita berada di negeri "Para Bocor". Para politisi kita melampiaskan ambisi dengan cara lempar batu sembunyi tangan bermodus bocor. Dan kita pun akan mendapatkan pemimpin dan pejabat berkualitas bocor.

Selamat bermimpi di negeri 'para bocor'. Sementara itu, angin tengah bertiup pelan membawa "panama paper" di arena para bocor. Dan kita terbuai. Kita sibuk membahas dan menyebut nama terkait Panama Paper namun tak ada yang membahas regulasi apa yang diperlukan sehingga tragedi Panama Papers tak jadi preseden berulang.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun