Penangkapan hakim PTUN Medan yang diikuti pengkapan OC Kaligis mengingatkan saya pada dua perkara korupsi. Yang pertama adalah penangkapan, Kepala SKK Migas, Profesor Rudi Rubiandini pada Agustus 2013 dan yang kedua adalah penangkapan Bupati karawang, Ade Swara, pada Juli 2014.
Ketiga perkara korupsi tersebut terpaut pada satu moment, yakni moment THR (Tunjangan Hari Raya). Perkara Rudi Rubiandini dan yang menimpa OC kaligis adalah pemberian suap, sedangkan perkara terkait Ade Swara adalah pemerasan dalam jabatan.
Jadi, selama tiga tahun berturut-turut, Komisi Pembertasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan dalam suasana romadon, dan terkait paket pengadaan THR kepada aparat negara dan atau aparat pemerintahan. Ini membuktikan bahwa THR sering dijadikan motif untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sungguh ironis, moment bersih-bersih atau menyucikan diri tersebut justru dijadikan sebagai ajang melakukan kejahatan. Ketika seharusnya para pejabat khusyu beribadah puasa, justru dipakai untuk kasak-kusuk mengurus pengadaan THR secara tak halal.
Inilah salah satu paradoks negeri kita. Moment agama justru dijadikan sebagai dalih untuk melakukan korupsi. Hal-hal busuk justru terjadi di moment baik dan indah. Pelanggaran hukum justru dilakukan oleh mereka yang sehurusnya menegakkan hukum. Bahkan KPK pernah menyatakan bahwa ada transaksi koruspi yang dilakukan sambil umroh. Ya, para pelaku melakukan umroh dan melakukan transaksi suap menyuap di tanah suci. sungguh ironis.
Mengenang ketiga perkara korupsi terkait THR itu, saya jadi ingat bagaimana suasana tarawaih pada minggu pertama bulan romadhon selalu ramai. Kemudian berangsur menyusut hingga paling banyak tinggal dua saf jamaah yang hadir pada minggu-minggu akhir bulan romadon. Mungkin para jamaah kebanyakan kena demam THR pula seperti para koruptor itu. Para jamaah kebanyakan mungkin demam beneran karena harap-harap cemas apakah THR mencukupi untuk anak bini dibawa mudik atau tidak, sementara para penyelenggara negara demam THR adalah panen pengahasilan tambahan yang tak halal.
Apa artinya ini bagi kita? Apakah dengan demikian, THR ditiadakan saja? Tentu bukan begitu yang saya maksud. Kita-kita masih membutuhkan THR, masyarakat banyak membutuhkan THR. THR janganlah dibumihanguskan, yang harus dibumihanguskan adalah koruptor. Kita harus pikirkan bagaimana caranya agar para penyelenggara negara jangan memanfaatkan THR untuk niat jahat mereka.
Peristiwa OTT KPK di tengah bulan romadon, dan perbuatan korupsi bermotif THR ini menunjukkan pada kita bahwa korupsi di negeri kita ini sudah sangat parah. Bahkan moment suci agama aja mereka jadikan ajang untuk korupsi. Mental penyelenggara negara sudah sedemikian parah, seakan-akan korupsi adalah bagian yang tak terpisahkan dari kewenangan para penyelenggara negara.
Keadaan yang demikian parah tentu tak bisa ditangani dengan cara yang biasa-biasa saja. Tidak cukup dengan gencaranya OTT (operasi tangkap tangan) yang dilakukan dengan gemilang oleh KPK. Melainkan harus dilakukan terobosan hukum sebagaimana pernah saya tuliskan di berjudul: "Jika Penyuap Tak Dipidana".
Jika tak dipikirkan sebuah landasan hukum baru yang lebih progresif dalam pemberantasa korupsi maka tindakan KPK nantinya hanyalah sebagai pelengkap ritual mudik lebaran tiap tahun. Artinya tiap tahun di bulan romadon ada saja yang tertangkap menerima suap bermotif THR, begitu seterusnya dari tahun ke tahun dan tidak membuat efek jera para calon koruptor baru. Di tahun-tahun yang akan datang bulan suci romadon akan selalu dihiasi head line berita OTT KPK yang dilanjutkan dengan head line berita mudik di saat idul fitri.
Semoga saja OTT KPK tidak tenggelam sekedar menjadi ritual. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H