Saya baru saja mendapat pelajaran dan dialog mendalam dari anak bungsu saya yang kelas enam SD. Tanpa sebab musabab, sepulang sekolah  ia berkomentar: "ayah... menurutku Newton itu aneh. Kok dia memikirkan soal apel jatuh? Menurutku itu biasa-biasa aja da..." katanya dengan logat sunda metropolisnya.
'Ahaaa.... sebuah kesempatan' pikirku. Ini waktu yang tepat menunjukkan pada si bungsu betapa hebatnya ilmu. Dengan lagak yang sok pintar aku mencoba memberi penjelasan. Aku tahu bahwa si bungsu senang buku-buku mengenai planet dan hal-hal lain mengenai luar angkasa. Maka spontan aku menjawab dengan gaya analogi yang biasa kugunakan didunia profesiku: 'adek juga aneh, kenapa baca buku-buku tentang luar angkasa? Bulan dan bintang juga biasa-biasa saja di atas sana'.
Si bungsu menjawab: "ya iya lah, kita kan kita ga tahu ada apa di luar angkasa. Ayah juga ga tahu ada apa di sana. Belum pernah kesana kan?", kata si bungsu tak mau kalah. Ups, aku tersentak. Ternyata analogi yang kupakai jauh panggang dari api. Aku segera menyadari bahwa anak-anak adalah dunia imajinasi. Mereka memikirkan hal-hal yang jauh dari keseharian mereka, termasuk angkasa luar. Bagi mereka angkasa luar nun jauh di sana penuh tandatanya, dan mungkin menakjubkan dalam imajinasi mereka.
Setelah kusadari bahwa aku salah konteks, aku meralat penjelasanku dan mencoba lebih membumi namun tetap tak kurang gaya. Alam bawah sadarku menuntutku bersikap bak mahaguru, seorang ayah harus tahu segalanya di depan sang anak. Hmmmm, aku terdiam beberapa saat untuk memikirkan cara yang pas untuk menjelaskan dan membuat anakku tertarik untuk melanjutkan pembicaraan bernuansa ilmu ini. Aku melihat dia sudah tak tertarik melanjutkan pembicaraan karena penjelasanku yang pertama justru menempatkan dia sebagai objek kritik. Dia mengambil remot TV dan mencoba mencari acara kesukaannya.
Sejenak kemudian aku berhasil mengalihkan perhatiannya dari acara TV kesukaannya. Pembicaraan kami kemudian beralih dengan hal-hal biasa-biasa saja. Kami membicarakan bagaimana orang bisa melihat dan bagaimana seandainya orang tidak bisa melihat. Kami membicarakan bagaimana orang berjalan dan bagaimana seandainya manusia berjalan dengan empat kaki. Begitulah seterusnya, hingga akhirnya anakku tersenyum-senyum sendiri. Ketika aku tanya kenapa ia senyum-senyum, ia bilang bahwa ia sedang membayangkan orang-orang berjalan dengan empat kaki."'Uhuy... aku berhasil membawa anakku ke gerbang ilmu (bukan ke gerbang sekolah)", pikirku penuh pengharapan. Aku berharap sekolahnya dapat melanjutkan eksplorasi ini, karena tak selalu ada kesempatan bagiku untuk mendampinginya dalam mencari tahu segala hal yang ia mau tahu.
Terlepas dari dialog antar dua generasi (antara aku dan anakku) ini, aku sendiri baru menyadari bahwa sumber ilmu adalah hal-hal biasa. Teringat pelajaran metodologi penelitian di masa kuliah dulu, bahwa sumber ilmu adalah dari rasa ingin tahu. Bahwa rasa ingin tahu itu bisa terpicu oleh hal-hal sepele atau hal-hal yang sudah dianggap biasa, barulah terpikir olehku. Dialog dengan si bungsu telah memberiku perspektif baru.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H