[caption id="attachment_222855" align="alignnone" width="620" caption="ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption] Antara seni dan hiburan. Begitulah saya memaknai politik saat ini pasca penutupan pendafatran Balon Gub/Wagub Jawa Barat periode 2013-2018. Saya tak cukup pintar untuk berpikir muluk-muluk tentang visi-misi untuk Jawa Barat ke depan, apa lagi berbicara tentang moral politik dikaitkan dengan momentum Pemilihan Gubernur/Wagub (Pilgub) kali ini. Pasangan dari unsur independen atau non parati telah lebih dulu mendaftar yaitu Dikdik Arif Mansur - Cecep S Toyib. Pada hari terakhir menjelang penutupan empat pasangan yang diusung partai mendaftar secara berturut-turut dari pagi hingga malam hari. Mereka adalah Rieke-Teten Masduki, Heryawan-Dedi Mizwar, Dede Yusuf-Lex Laksamana, serta Irianto MS Syaifudin-Tatang Farhanul Hakim. Tiga tokoh dari pasangan Cagub/wagub adalah tokoh-tokoh yang sebelum memasuki dunia politik dikenal sebagai artis. Sebenarnya tak perlu saya sebutkan disini siapa saja. Tapi untuk membuat tulisan ini lebih indah saya sebut lagi nama-nama tokoh artis yang meramaikan Pilkada Jabar, yaitu: Rieke Diah Pitaloka, yang menjadi tenar gara-gara sinetron Bajaj Bajuri yang rajin saya tonton pada masa tayangnya, Dede Yusuf yang mulai tenar dalam film yang tak pernah saya tonton yaitu Catatan Si Boy, serta Dedy Mizwar yang saya suka pada film Naga Bonar serta makin banyak dikenal pada sinetron Para Pencari Tuhan. Tiga aktor dan aktris yang tampil pada Pilkada Jabar tersebut bukan aktor dan aktris ecek-ecek pada bidangnya. Mereka adalah pemain peran yang handal. Film dan sinetron yang mereka perankan bukan berjenis opera sabun yang sering mengharu biru dan menjual mimpi dan nyerempet syahwat. Mereka pemain peran yang bermutu dan kreator yang pantas diacungi jempol pada bidangnya. Dede Yusuf dan Rieke telah memasuki dunia politik sebelum mencalonkan diri pada Pilkada Jabar 20134-2018. Dede Yusuf bahkan menempati posisi petahana (incumbent) pada pertarungan kali ini sehubungan dengan jabatannya saat ini sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat periode 2008-2013, sedangkan Rieke Diyah Pitaloka adalah anggota DPR RI periode 2009-2014. Adapun Deddy Mizwar telah beberapa tahun belakangan mulai 'nyerempet-nyerempat' politik non partisan bersama Jend (purn) Saurip Kadi dalam program Negeri Merak dengan mengkritik kebijakan pemerintah. Kemunculan aktor dan aktris kenamaan dalam momentum Pilkada Jabar kali ini membuat saya setengah tafakur antara mensyukuri bercampur khawatir, kalau-kalau Pilkada Jabar dan setiap agenda Pilkada lainnya diberbagai daerah adalah cerminan realitas yang sesungguhnya. Realitas apakah yang membuat saya bersyukur bercampur khawatir itu? Yaitu realitas bahwa politik bangsa kita hanya membentang antara hiburan dan seni. Saya mensyukuri bahwa orang-orang yang berprofesi aktor dan aktris yang jadi bakal calon pada Pilkada Jabar bukanlah para aktris dan aktor dunia opera sabun. Mereka yang tampil adalah orang-orang yang patut diandalkan di bidangnya. Sekali lagi, diandalkan di bidangnya. Memang tidak ada alasan untuk tidak suka, dan tidak ada alasan pula untuk melarang aktor/aktris tampil di panggung politik. Demikian juga tidak ada alasan yang benar-benar sahih untuk diajukan untuk meragukan kemampuan mereka untuk memimpin, semata-mata karena mereka adalah artis. Jadi, kekhawatiran saya bukan pada figur yang tampil pada pilkada Jabar sebagaimana tersebut di atas, melainkan pada cerminan realitas. Pada Pemilu pasca reformasi, fenomena artis menjadi andalan partai dalam meraih dukungan dan suara telah menjadi kelaziman. Cara ini merupakan cara instan memperkenalkan partai yang baru mulai berdiri di seiring dengan terbukanya arus demokrasi pasca reformasi. Persoalnnya kemudian adalah bahwa fungsi partai menjadi tanda-tanya besar. Kader partai enggan melakukan kerja-kerja politik ke basis rakyat karena semata mengandalkan publik figur produk sinetron. Cara instan mengandalkan artis populer berakibat partai secara institusional tidak bekerja di tingkat basis, bahkan cendrung mengabaikan nasib rakyat. Relasi politik antara partai dengan rakyat menjadi kendor. Bahkwan relasi kepentingan pun bisa tidak terbangun. Melainkan semata-mata silaturahmi sekali dalam lima tahunan. Setiap momentum politik tak lebih dari sekedar hiburan lima tahunan, dengan berbagai atraksi seni politik yang dimainkan oleh elit-elit partai politik. Dan tentunya ini bukanlah salah Rieke, bukan salah Dede, dan bukan juga salah Dedi Mizwar. Siapa yang patut disalahkan? Partai.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H