Alangkah hebat dan mulianya alasan yang diajukan olehj pengacara yang adalah orang cerdik pandai di bidang hukum itu. Namun Majelis Hakim Yang Mulia tak mengabulkan permintaan si cerdik pandai hukum. Bukan karena hakim meragukan kisah Nabi Yusuf. Bukan pula karena hakim tak pernah membaca kisah si Bungsu seperti yang saya ceritakan. Bukan pula karena Hakim meragukan kisah yang telah berlalu lebih dari dua ribu tahun berselang itu. Entah apa pertimbangan Majelis sehingga majelis hanya mengijinkan si terdakwa untuk berobat jalan pada hari itu juga dan kemudian kembali memasuki sel tahanan.
Ataukah hakim melihat kenyataan seperti saya melihat bahwa sebenarnya antara Nabi Yusuf dan Nunun ada perbedaan yang mencolok? Berikut perbedaan yang sempat saya lihat, yaitu: sekalipun berahun-tahun dan tumbuh besar di Mancanegara, Nabi Yusuf tak pernah lupa. Bahkan beliau lebih ingat wajah-wajah saudara-saudaranya dan masih menyayangi saudara-saudaranya walaupun mereka telah pernah membuang beliau. Sedangkan terdakwa Nunun telah mengidap penyakit lupa.
Akhirnya saya berkesimpulan bahwa Hakim ingin memenuhi tujuan terdakwa Nunun meneladani Nabi Yusuf dari sisi yang lain. Yakni membantu terdakwa Nunun untuk memiliki daya ingat dan kasih sayang yang tak lekang seperti Nabi Yusuf. Dengan tetap ditahan kiranya terdakwa bisa merenung lebih banyak guna mengingat-ingat yang pernah terlupa. Sedangkan di luar penjara terlalu banyak masalah berseliweran yang bahkan untuk orang belum kena penyakit lupa bisa mengganggu pikiran.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H