Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Politik

Syndrom Soekarno-Hatta

31 Januari 2012   03:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:15 1256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal Indonesia lahir sebagai negara dikenal ada Dwi-Tunggal. Mereka adalah Bung Karno dan Bung Hatta, masing-masing menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Mereka adalah pasangan yang ideal tampaknya dan rakyat sangat mendukung pasangan ini. Dalam beberapa ulasan buku menyebutkan bahwa pasangan ini sangat ideal karena masing-masing saling mengisi; Bung Karno sebagai orator yang karakternya sering meledak-ledak, sedangkan Bung Hatta sebagai administratur berpembawaan kalem dan sangat hati-hati bersikap.

Namun pada akhirnya Dwi-Tunggal ini pecah. Ada perbedaan prinsip dalam melihat persoalan. Kedua pihak pun punya alasan masing-masing memegang prinsipnya. Alhasil, Bung Hatta mundur dari jabatan Wapresnya dan Bung Karno melenggang sendiri hingga akhirnya dikudeta dengan legitimasi Supersemar pada tahun 1966.

Era Soeharto tidak ada masalah menonjol dalam persoalan jabatan wakil di semua level pemerintahan. Wakil Presiden di Era kepemimpinan Soeharta yang berganti sampai enam kali (Sultan HB IX, Adam Malik, Soedharmono, Umar Wirahadikusumah, Tri Sutrisni dan Habibie)  tidak pernah mengundang masalah. Kekuasaan tidak bercabang dua dan Soeharto tetap berada di pucuk kekuasaan.

Setelah berakhirnya kekuasaan Soeharto, posisi wakil dalam kepemimpinan pemerintahan mulai menjadi masalah. Dimulai saat pasangan Gusdur-Megawati yang kemudian berakhir dengan pelengseran Gus Dur secara konstitusional untuk kemudian digantikan oleh Megawati. Lalu pada masa kepemimpinan SBY periode pertama ketika berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) sebagai Wakil Presiden seakan ada perlombaan peran antara Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan sempat diberitakan bahwa sebelum pasangan ini tampil dalam pemilu, sudah ada komitmen tertulis pembagian peran antara mereka dalam pemerintahan. Dalam praktek, sering kali JK lebih menonjol dari pada SBY.

Pengalaman berpasangan dengan JK ini kemungkinan oleh SBY dijadikan pelajaran sehingga pada periode kedua kepemimpinannya ia mengambil sosok yang lebih kalem, yakni Boediono. Boediono bukan berasal dari kader partai koalisi sehingga tidak ada dorongan kepentingan partai dalam tubuh lembaga kepresidenan. Retak rekatnya Koalisi hanya manifes di parlemen. Atau paling jauh sampai menyentuh soal jabatan menteri di kabinet.

Di level pemerintahan daerah ada dua kasus menonjol yang memperlihatkan ketegangan antara pemimpin dan wakilnya. Kasus pertama, ketegangan antara Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dimana Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto memutuskan untuk mundur dari jabatannya setelah hampir empat tahun menjabat. Kasus kedua terjadi di Kabupaten Garut dimana Dicky Chandra yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Bupati Garut karena tidak cocok lagi dengan 'bosnya', Aceng Fikri.

Dicky Chandra mendapat dukungan publik atas sikapnya. Hal ini disebabkan oleh karena setelah kemundurannya, kepemimpinan Bupati Garut terus dirongrong oleh demo menentang Bupati dengan isu-isu kasus korupsi. Dalam keadaan begini, kemunduran Chandra mendapat respon posisitf. Sedangkan terhadap Prijanto, publik lebih banyak diam. Bahkan mencurigainya ingin mengambil moment menjelang Pilkada DKI.

Bagi saya apapun alasan dan motif kemunduran kedua orang kepala daerah ini mencerminkan terjadinya keberlangsungan syndrom Soekarno-Hatta dalam kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Hanya saja, dalam peristiwa perpecahan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, yang terjadi adalah pertarungan prinsip. Sedangkan sejak era Gus Dur - Mega hingga ke kasus Aceng-Dicky dan Foke-Prijanto, yang tejadi adalah perebutan peran. Seakan tak ikhlas jadi wakil kalau tidak mendapatkan porsi wewenang yang diinginkannya.

Sejak era multi partai yang berlaku sejak reformasi ada kecenderungan agar kekuasaan pemerintahan dibelah antara pimpinan dan wakilnya, entah itu dengan asumsi 70 - 30 bagian, atau 60 - 40 bagian atau mungkin juga dibagi dua sama rata 50 - 50 bagian. Padahal laporan pertanggungjawaban tak pernah dibagi dua melainkan dalam satu bagian saja.Tak ada mekanisme yang meminta pertanggungjawaban wakil (entah itu wakil presiden, wakil gubernur ataupun wakil bupati/walikota) menyusul pertanggungjawaban presiden/gubernur/bupati/walikota.

Posisi wakil adalah posisi ban serap, pemimpin cadangan yang akan berperan ketika pucuk pimpinan berhalangan. Hal ini harusnya disadari oleh siapapun politisi atau siapapun yang maju dalam pasangan pilkada maupun pemilu presiden. Tidak boleh ada alasan bahwa 'karena tidak diperankan' atau 'tidak dianggap' sehingga seorang wakil mengundurkan diri dari jabatannya. Posisi wakil adalah membantu terlaksananya kebijakan pimpinan yang diwakilinya. Begitulah konsekuensi menjadi wakil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun