Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PNS Beban Pembangunan

4 Juli 2011   18:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:56 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2007
2.292.555
6,91
1.774.646
12,25
4.067.201
9,18

2008
2.257.408
-1,53
1.825.952
2,89
4.083.360
0,40

2009
2.455.269
8,76
2.068.936
13,31
4.524.205
10,80

2010
2.460.283
0,20
2.137.817
3,33
4.598.100
1,63

Bahwa pertumbuhan PNS melebihi rata-rata pertumbuhan penduduk, sebuah anomali. Yang melayani cenderung bertambah melampaui pertumbuhan pihak yang dilayani. Padahal di sisi lain, kemajuan teknologi seharusnya telah mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia pada aspek pelayanan.

Pegawai negeri banyak yang nganggur. Makanya jangan heran kalau pegawai negeri yang beredar di mall pada saat jam kerja bisa lebih banyak dari peredaran lembar uang palsu.

Kenyataan ini bukannya tidak disadari oleh pemerintah. Masalahnya, pemerintah yang berkuasa punya ketergantungan pula pada PNS. Sebagai warisan rezim Orde Baru yang menjadi birokrasi sebagai mesin politik, pemerintahan era reformasi tak bisa membereskan warisan ini, malahan cenderung memakainya pula sebagai alat politisasi. Begitu pun Jusuf Kalla yang pada awal berkuasa bersama SBY menggunakan logika seorang pengusaha dalam memandang jumlah PNS, akan tetapi ketika sudah menyadari kenyataan politik yang dihadapinya akhirnya ia pun menyerah dan membiarkan pertumbuhan PNS kembali melonjak.

Dengan citra Presiden SBY yang popularitasnya semakin menurun, apakah Menkeu selaku pembantu presiden akan terus melanjutkan gagasan penciutan jumlah PNS? Apakah SBY berani mengambil resiko politik kehilangan dukungan? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun