Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi dan Olah Raga (Belajar dari Ganefo-nya Bung Karno)

24 Februari 2011   08:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:19 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah, sekarang saatnya untuk tidak menyangkal politik dalam olah raga. Konflik internal PSSI telah memberi bukti yang sah dan meyakinkan bahwa dalam pengelolaan dan even olah raga bisa saja ada nuansa politik. Masih juga menyangkal?? Lihatlah slogan keinginan perubahan dalam pengurusan PSSI, istilahnya ga tanggung-tanggung:       R E V O L U S I. Bahasa perlawanannya sangat politis. Cara perlawannya juga tak kalah aksi, pake istilah 'tandingan' seperti telah terjadi pada kepengurusan PSSI di Jawa Timur. Layaknya perpecahan di tubuh partai politik aja.  Bahkan sudah ada muncul pula istilah 'diktator' terhadap Nurdin Halid. Seru bukan main!

Saya bukan olahragawan. Saya menyukai dan menikmati  sepak bola walau hanya menonton lewat televisi. Tapi saya tak suka membaca berita tentang sepak bola di media cetak. Jadi, saya bukan bagian dari silang sengketa dan silang pendapat tentang kepengurusan PSSI. Saya lebih memahami politik dari pada olah raga. Maka pandangan saya dalam tulisan berikut ini lebih bernuansa politik.

Pandangan saya adalah: wajar saja kalau even olah raga memiliki muatan politik. Tentunya teknis pelaksanaan dan hasil akhir dari kompetisi tidak boleh dipolitisasi. Maksudnya, jangan sampai kalah-menangnya sebuah kontingen ditentukan oleh pembicaraan dan permainan di luar arena, sebagaimana lazimnya tejadi di DPR senayan dimana yang tampak dan nyampai ke publik hanya fragmen sandiwaranya saja sedangkan hasil realnya ditentukan dan menjadi milik para dalang politik. Teknis pertandingan dan kompetisi tetap fair tanpa intervensi akan tetapi pengelolaan tentu saja boleh bermuatan politik.

Olah raga adalah bagian dari kehidupan. Begitupun politik, adalah bagian dari kehidupan. Keduanya bisa bersanding dan tidak perlu saling mensterilkan. Mensterilkan olah raga dari politik adalah pandangan naif terhadap realitas relasi sosial yang saling menjalin.

Bung Karno adalah orang pertama yang mempolitisir olah raga. Beliaulah saya kira orang pertama yang menyadari arti penting olah raga bagi kepentingan politik bangsanya. Yakni, saat Bung Karno menggagas dan menyelenggarakan even Ganefo (Games of New Emerging Forces)  pada tahun 1963 sebagai tandingan terhadap Olimpiade yang menurutnya telah menjadi alat kepentingan negara-negara imperialis.

Penyelenggaraan Ganefo dipicu oleh keinginan Indonesia (dibawah kepemimpinan Bung Karno) untuk menolak kepesertaan negara Israel dan Taiwan dalam even Asian Games. Saat itu Bung Karno berpendirian bahwa Israel telah melecehkan negara arab sedangkan Taiwan adalah representasi sekutu negara maju yang membangkang terhadap negeri induknya yakni Tiongkok (RRC). Karena menolak Israel dan Taiwan dalam Asian Games maka Komite Olimpiade Internasional mencoret Indonesia dari keanggotaan Komite Olimpiade.  Bung Karno tak kalah berang, maka iapun membuat olimpiade tandingan yang ia sebut GANEFO itu. Dari jumlah peserta yang mencapai 48 negara, even ini tak kalah bergengsi dengan olimpiade.

Saat itu mungkin negara-negara maju mencibir dan menuduh Bung Karno sebagai manusia primitif. Masa sih olah raga dipolitisir? Seakan ajang sportifits teragung yang dibentuk dalam peradaban manusia sejak jaman Romawi itu dicemari oleh ambisi Bung Karno di panggung politik internasional. Mungkin itulah komentar awalnya. Tapi Bung Karno memang selalu melangkah lebih maju dari jamannya. Karena, sebagaimana fakta membuktikan belakangan bahwa boikot pelaksanaan olimpiade dilakukan oleh beberapa negara yang dilatarbelakangi oleh perbedaan politik dan kepentingan dalam hubungan diplomatik.

Langkah bung Karno belakangan ditiru oleh dua negara adi daya ketika berada dalam hubungan yang tegang yang dikenal sebgai era pera dingin. Kurang dari 20 tahun setelah aksi boikot yang revolusioner Bung Karno, pada tahun 1980 Amerika serikat memboikot pelaksanaan olimpiade di Moskow (ibu kota Uni Sovyet kala itu). Empat tahun kemudian, giliran Uni Sovyet memboikot Olimpiade di Los Angeles. Keduanya memiliki latar belakang politik dan ideologis. Artinya, Bung Karno di tahun 1963 dicibir oleh negara maju karena memboikot olimpiade dengan dalih politik, telah berada di rel yang benar dan akhirnya ditiru oleh dua negara adidaya.

Masih belum cukup puas dengan bukti yang sah dan meyakinkan itu??? Cobalah tontotn film berjudul Ivictus yang disutradarai oleh Cling Eastwood. Film yang konon diangkat dari kisah nyata ini menggambarkan bagaimana negara Afrika Selatan yang baru lahir dan  dipimpin oleh tokoh anti Apartheid,  Nelson Mandela, event pertandingan rugby antar  Negara-Negara Persemakmuran dijadikan sebagai momentum memutus mata rantai permusuhan antara kulit hitam dan kulit putih. Ketika  hubungan antar warna kulit di Afsel yang baru merdeka masih tegang dan rentan konflik, Nelson Mandela merajut hubungan harmonis itu melalui even olah raga.

Politik dalam olah raga bukan barang tabu. Sejauh politik itu adalah politik  - mengutip istilah Romo Mangun - politik hati nurani.  Masalahnya,  belakangan ini kita alergi terhadap politik karena tak memperlihatkan dedikasi dan politik hati nurani itu. Sehingga kita beranggapan kalau  politik menyusup ke dalam olah raga bagaikan godaan setan yang menyesatkan.

Untuk dapat menaruh harap pada masa depan negeri ini, saya mencoba berpikir sebab akibat yang terbalik, dimana dinamika dalam tubuh organisasi olah raga dapat menyusup dalam nurani para politisi kita. Semoga dinamika yang sekarang sedang berlangsung di tubuh PSSI sungguh-sungguh memicu perubahan revolusioner dalam alam politik Indonesia.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun