Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kalau Hanya Bisa Majakin, Apa Bedanya Dengan Preman?

9 Desember 2010   11:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:52 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragis lainnya. Sekarang banyak proyek memperadabkan pasar tradisional dengan pasar modern. Pedagang di pasar-pasar tradisional yang telah memiliki pelanggan puluhan tahun, dengan dalih pemodernan pasar disingkirkan karena akan dibangun pasar dengan gedung megah sehingga uang sewa dan/atau harga satu kapling menjadi ratusan juta. Maka banyak pedagang tradisional tersingkir.

Pemerintah tak pernah memfasilitasi pertumbuhan ekonomi secara riel. Pemerintah hanya menunggangi daya survival rakyatnya. Mengambil keuntungan atas jerih payah dan perjuangan panjang rakyat membangun ekonomi sendiri. Pemerintah tak pernah memikirkan apa sih kesulitan pedagang warteg dan bagaimana mengatasi kesulitan mereka? Mereka tak pernah memikirkan - misalnya - bagaimana caranya pedagang warteg yang kampungan itu bisa membuat perencanaan usaha sehingga mereka bisa mengembangkan bakat wirausaha mereka di daerah lain. Mereka hanya memikirkan bagaimana suatu saat pedagang warteg itu bisa dipajaki, menjadi objekan.

Kenapa sering petani terpuruk saat musim panen? Karena pemerintah tak pernah serius memikirkan bagaimana menampung hasil produksi saat terjadi over produksi. Pemerintah tak pernah berusaha mengendalikan produksi melalui instrumen kebijakan. Pemerintah membiarkan petani berjibaku sendiri melawan para pengijon dan para pedagang perantara pemilik modal yang menjatuhkan harga.

Dalam banyak hal terkait ekonomi, pemerintah sering kali meninggalkan rakyatnya. Membiarkan rakyatnya berjuang sendiri dan jatuh bangun dalam membangun ekonominya. Lalu setelah mulai kelihatan ada keberhasilan, barulah pemerintah berbasa-basi mengurus dan tidak lama kemudian dibebani biaya ini biaya itu. Biasanya dimulai dari kewajiban mengurus ijin atau dokumen tertentu. Apa bila rakyat yang usaha membanting tulang ini nurut aja dengan berbagai aturan birokrasi, lalu ditingkatkan menjadi reteribusi. Jika masih kuat juga barulah pemerintah terang-terangan memungut pajak dengan dalih pendapatan daerah.

Mulai 1 Januari 2011 UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah akan berlaku. Semangat pemerintah daerah dalam penerapan UU ini jangan sampai menjadi beban bagi ekonomi rakyat. Jangan sampai UU ini menjadi alas nafsu pemerintah daerah menggencet rakyatnya dengan berbagai pungutan pajak.

Otonomi daerah seharusnya memotifasi pemerintah daerah untuk memacu kemandirian ekonomi rakyatnya melalui pembangunan infrastruktur ekonomi rakyat berdasarkan potensi riel daerahnya. Jangan sebaliknya, dimana otonomi sebagai kesewenangan daerah membebani rakyatnya. Jika hanya bisa memajaki tanpa fungsi mengendalikan dan memfasilitasi maka pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah tak beda dengan setoran pedagang kaki lima kepada preman penguasa wilayah tertentu yang sering disebut sebagai jatah jeger atau jatah preman (jatprem).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun