Dari tanggal 11 hingga 17 November 2010 kami pulang kampung, ke Nias. Boyong sekeluarga: saya, istri, dua orang anak serta adik bungsu saya yang tinggal bersama kami di Bandung. Saya dan istri sudah lama ingin pulang sekeluarga lengkap. Sebelum punya anak, saya dan istri pernah nganjang ke kampung saya. Berikutnya, saya dan anak-anak pernah pulang kampung tanpa didampingi ibunya anak-anak. Beberapa kali saya pulang tanpa didampingi istri dan anak. Kali ini keinginan kami terwujud bertepatan dengan pelaksanaan pernikahan adik perempuan saya. Berikut catatan perjalanan yang sempat saya ingat-ingat.
Tak Jadi Mendarat
Perjalanan kami ternyata tak semudah yang kami kira, tak seindah yang kami bayangkan. Cuaca menjadi penghambat utama. Penerbangan lanjutan dari Polonia Medan menuju Bandara Binaka Gunung Sitoli terlambat satu jam. Menurut jadwal, penerbangan Wings Air - anak perusahaan Lion Air - take off pukul 15.05 pada kenyataanya baru take off pukul 16.00. Terlambat sejam memang sudah biasa, tradisi penerangan di setiap penerbangan ke bandara kecil.
Ternyata keterlambatan penerbangan hanyalah awal dari siksaan perjalanan. Setelah terlambat sejam pesawat berlogi singa terbang mengepakkan sayap untuk kami, ternyata kami tak bisa mendarat. Singa Terbang putar balik ke Polonia. Cuaca sepanjang hari itu memang mendung. Kami semapt menembus kabut tebal bahkan mengalami drop off saat terbang. Pesawat seakan meluncur vertika. Hmmm... bokongku serasa mengkerut selama sedetik mengalami peristiwa itu.
Sesaat sebelum pilot mengumumkan bahwa penerbangan berbalik dan mendarat kembali di Polonia, saya sempat heran dengan bayangan pulau di balik kabut tidak seperti biasa yang saya lihat setiap kali akan mendarat di Bandara Binaka. Saya sempat bergumam: "ini pulau apa ya kok aneh?" Ternyata memang pesawat tidak sedang menyejajarkan moncongnya dengan ujung landasan melainkan sedang berputar balik menju medan.
Cuaca buruk, kata capten melalui speakir di langit-langit pesawat. Kami pun kembali mendarat di Bandara Polonia Medan. Setiba di ruang tunggu tidak ada kepastian apakah penerbangan masih dimungkinkan atau tidak. Setelah sejam berlalu barulah para penumpang diminta melapor ke counter penerbangan. Para penumpang transit seperti kami diberi fasilitas penginapan, itupun setelah jam 21.00 baru dibawa ke penginapan.
Bagai Mengungsi
Pagi pukul 06.00 para penumpang sudah dijemput dari hotel menuju Bandara. Dijanjikan bahwa kemungkinan akan ada penerbangan sekitar pukul 06.00 atau pukul 07.00. Kenyataanya tak ada penerbangan hingga pukul 16.00 tak ada penerbangan. Lagi-lagi tanpa kepastian.
Penderitaan kami pada penantian hari kedua pertama-tama adalah soal ganti pakaian. Sudah dua hari tidak bisa ganti pakaian karena pakaian ada di dalam bagasi. Di ruang tunggu keberangkatan terlalu dingin, ditambah dengan kursi ruang tunggu yang terbuat dari logam sehingga bertambah dingin saat mencoba berbaring atau tiduran melepas rasa bosan. Menjelang siang hari kami mulai merasa diri bagai pengungsi.
Saat makanan jatah dari perusahaan penerbangan dibagikan, semakin sempurnalah keadaan kami yang bagai pengungsi. Menu mi goreng dalam stereoform yang dibagikan udah sedikit rasanyapun ga karuan. Begitupun menu sore hari cuma nasi goreng yang rasanya seperti tak berbumbu. Dua hari kami terkatung-katung di Bandara tanpa kepastian apakah akan diterbangkan atau tidak, serta dengan menu kaki lima dari perusahaan penerbangan.
Bupati Penumpang Gelap
Menjelang jam 17.00 pada hari kedua 'pengungisan' itu, tiba-tiba terdengan pengumuman bahwa penerbangan nomor sekian dipersilakan naik pesawat terbang. Aku mendadak melompat karena nomor penerbangan yang diumumkan itu adalah nomor penerbangan yang tertera pada tiket kami. Kami pun melapor pada petugas dan segera diantarkan ke pesawat. Konon pesawat yang kami tumpangi adalah pesawat yang biasa digunakan untuk jalur penerbangan Medan - Penang.
Sepanjang hari udara Kota Medan diliputi awan. Pada pukul 17.00 sore itu cuaca tak berubah, mendung tapi tak hujan hanya sesekali gerimis turun tapi tak lama. Saat seluruh penumpang telah duduk di kabin pesawat, masih menunggu lama sebelum terbang. Tak seperti biasa. Petugas malah sibuk memeriksa tiket penumpang satu persatu. Matahari semakin condong ke barat sehingga cuaca yang tak cerah seakan semakin mendung. Maka para penumpang mulai gelisah ketika penerbangan masih sibuk memeriksa tiket penumpang satu per satu.
Saya dan istri mulai curiga dengan seorang penumpang berbaju safari yang duduk di depan kami. Kami memang melihat ada penumpang wajah baru yang tak serta dalam penerbangan sehari sebelumnya. Rupanya orang berbaju safari adalah ajudan Bupati Nias, saya kira semula adalah anggota DPRD yang suka sok kuasa. Istri saya sempat dengan bisikan sepasang penumpang wajah baru yang didudukkan di kursi paling depan adalah Bupati Nias. Maka istri sayapun celoteh keras-keras bahwa 'tak ada pejabat di udara, yang tidak punya tiket harus turun atau diturunkan rame-rame'. Saya kira suara istri saya ditujukan pada penumpang bersafari, ternyata ditujukan kepada si Bupati.
Bupati mulai gelisah dan terus menoleh ke belakang. Para penumpang semakin gelisah karena pesawat tak juga beranjak terbang. Petugas sedang memilih penumpang yang harus diturunkan untuk memberi tempat buat Bupati yang tak punya tiket terbang itu. Untunglah ada dua orang ibu yang bersedia turun. Entah bagaimana bisa terjadi kedua ibu itu mau turun. Akhirnya Bupati Nias bisa ikut terbang dan tak jadi diturunkan rame-rame oleh penumpang. Seandainya terlambat beberapa menit mungkin kesabaran penumpang mulai habis.
Selamat Buat Kapten Agus Ma'ruf
Duapuluh menit pertama selama penerbangan suasana kabin hening. Awan tebal di luar menciutkan nyali para penumpang. Saya melihat mulut berkomat-kamit membisikkan doa. Lalu saat melewati cuaca yang kelihatan cerah mulailah ramai pembicaraan. Para penumpang mulai lupa diri. Namun menjelang Binaka, pesawat jenis ATR 72-500 berkapasitas 72 penumpang itu terbang menyibak kabut tebal. Suasana hening kembali kembali. Saat pilot mengumumkan aba-aba landing bahwa pesawat akan segera mendarat.
Seingatku, pada penerbangan sehari sebelumnya kabut jauh lebih tipis di atas Binaka. Saya melihat kedudukan terbang pesawat telah mengambil posisi rendah di bawah kabut, jauh sebelum posisi moncong sejajar dengan ujung landasan. Saya yang berduduk di samping jendela menyaksi dengan seksama detik-detik pendaratan menerobos kabut itu. Saya was-was kalau-kalau pendaratan itu kembali gagal dan kami musti kembali ke Bandung tanpa menjejakkan kaki di kampung halaman.
Begitu roda pesawat menyentuh landasan spontan saya bertepuk tangan memberi selamat dan meneriakkan nama kapten Agus Ma'ruf sang juru mudi pesawat. Disinilah kebahagiaan pulang kampung kami bermula.
Tulisan Seru Dari Para Sahabat:
Ragile : Dinding Pemisah dalam Ultah Kompasiana
Della Anna : Dewi Persik Kebal UU Pornografi
Nathalia :Â sebuah pusi dalam jengkel berjudul 08989856598
Dinar Manaf , bikin kita senyum : Humor Hari Qurban
Edi Santana Sembiring, dalam perspektif baru tentang Bung Karno: Warisan Bung Karno
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H