Menjelang jam 17.00 pada hari kedua 'pengungisan' itu, tiba-tiba terdengan pengumuman bahwa penerbangan nomor sekian dipersilakan naik pesawat terbang. Aku mendadak melompat karena nomor penerbangan yang diumumkan itu adalah nomor penerbangan yang tertera pada tiket kami. Kami pun melapor pada petugas dan segera diantarkan ke pesawat. Konon pesawat yang kami tumpangi adalah pesawat yang biasa digunakan untuk jalur penerbangan Medan - Penang.
Sepanjang hari udara Kota Medan diliputi awan. Pada pukul 17.00 sore itu cuaca tak berubah, mendung tapi tak hujan hanya sesekali gerimis turun tapi tak lama. Saat seluruh penumpang telah duduk di kabin pesawat, masih menunggu lama sebelum terbang. Tak seperti biasa. Petugas malah sibuk memeriksa tiket penumpang satu persatu. Matahari semakin condong ke barat sehingga cuaca yang tak cerah seakan semakin mendung. Maka para penumpang mulai gelisah ketika penerbangan masih sibuk memeriksa tiket penumpang satu per satu.
Saya dan istri mulai curiga dengan seorang penumpang berbaju safari yang duduk di depan kami. Kami memang melihat ada penumpang wajah baru yang tak serta dalam penerbangan sehari sebelumnya. Rupanya orang berbaju safari adalah ajudan Bupati Nias, saya kira semula adalah anggota DPRD yang suka sok kuasa. Istri saya sempat dengan bisikan sepasang penumpang wajah baru yang didudukkan di kursi paling depan adalah Bupati Nias. Maka istri sayapun celoteh keras-keras bahwa 'tak ada pejabat di udara, yang tidak punya tiket harus turun atau diturunkan rame-rame'. Saya kira suara istri saya ditujukan pada penumpang bersafari, ternyata ditujukan kepada si Bupati.
Bupati mulai gelisah dan terus menoleh ke belakang. Para penumpang semakin gelisah karena pesawat tak juga beranjak terbang. Petugas sedang memilih penumpang yang harus diturunkan untuk memberi tempat buat Bupati yang tak punya tiket terbang itu. Untunglah ada dua orang ibu yang bersedia turun. Entah bagaimana bisa terjadi kedua ibu itu mau turun. Akhirnya Bupati Nias bisa ikut terbang dan tak jadi diturunkan rame-rame oleh penumpang. Seandainya terlambat beberapa menit mungkin kesabaran penumpang mulai habis.
Selamat Buat Kapten Agus Ma'ruf
Duapuluh menit pertama selama penerbangan suasana kabin hening. Awan tebal di luar menciutkan nyali para penumpang. Saya melihat mulut berkomat-kamit membisikkan doa. Lalu saat melewati cuaca yang kelihatan cerah mulailah ramai pembicaraan. Para penumpang mulai lupa diri. Namun menjelang Binaka, pesawat jenis ATR 72-500 berkapasitas 72 penumpang itu terbang menyibak kabut tebal. Suasana hening kembali kembali. Saat pilot mengumumkan aba-aba landing bahwa pesawat akan segera mendarat.
Seingatku, pada penerbangan sehari sebelumnya kabut jauh lebih tipis di atas Binaka. Saya melihat kedudukan terbang pesawat telah mengambil posisi rendah di bawah kabut, jauh sebelum posisi moncong sejajar dengan ujung landasan. Saya yang berduduk di samping jendela menyaksi dengan seksama detik-detik pendaratan menerobos kabut itu. Saya was-was kalau-kalau pendaratan itu kembali gagal dan kami musti kembali ke Bandung tanpa menjejakkan kaki di kampung halaman.
Begitu roda pesawat menyentuh landasan spontan saya bertepuk tangan memberi selamat dan meneriakkan nama kapten Agus Ma'ruf sang juru mudi pesawat. Disinilah kebahagiaan pulang kampung kami bermula.
Tulisan Seru Dari Para Sahabat:
Ragile : Dinding Pemisah dalam Ultah Kompasiana
Della Anna : Dewi Persik Kebal UU Pornografi