Salah satu teman berkeluh kesah dalam kesempatan pembicaraan ringan soal Pemilu yang tinggal menghitung hari. "Serba salah kita ni, mau milih udah malas tapi katanya kalo ga milih ntar kertas suara kita dipake untuk curang...", katanya dengan ekspresi bingung. Teman saya yang bingung ini memang cukup gaul dengan banyak kalangan, termasuk para politisi dan pejabat. Tapi dia orang yang awam soal politik, dia adalah seorang wiraswastawan tulen yang lebih tertarik bicara bisnis dari pada bicara politik.
Singkat cerita, ternyata teman saya mendapat info yang 'katanya-katanya' itu berasal dari  salah seorang rekan bisnisnya yang juga sedang mengadu nasib menjadi caleg. 'Rupanya rekan saya yang awam politik ini sedang menyerap propaganda konyol', pikirku. Kenapa saya anggap informasi tersebut sebagai propaganda konyol? Karena secara teknis dan yuridis, tanggungjawab dan wewenang menjaga pemilu terhindar dari kecurangan, pertama-tama harus dari partai itu sendiri. Mengawal pemilu dari kecurangan bukanlah dibebankan kepada pemilih. Namun demikian dimungkinkan saja dalam hal tejadi kecurangan yang massif, para pemilih memilik hak moral untuk melakukan gerakan tertentu untuk menjaga agar hasil suara tidak dimanipulasi.
Selain itu saya juga berargumen bahwa partai-partai peserta pemilu memiliki saksi. Dan idealnya semua partai memiliki saksi di setiap TPS. Nah, jika mereka punya saksi dan tak bisa mengawal kertas suara yang tak terpakai, bagaimana bisa kita percaya bahwa kertas suara kita yang sudah kita gunakan bisa mereka kawal?
Terus terang, saya tidak tahu secara mendetail bagaimana alur proses  mengenai penghitungan suara hingga rekapitulasi yang mengahsilkan konversi kursi legislatif daerah maupun pusat. Akan tetapi logika saya beranggapan bahwa kertas suara yang tak terpakai alur prosesnya mengalir sama atau beriringan dengan kertas suara yang telah dipakai alias dicoblos (dicontreng). Sehingga mekanisme pengecekan silang di tiap tahapan penghitungan akan menampakkan jumlah suara bagi tiap caleg dan partai, sekaligus menampakkan berapa kertas suara yang tak terpakai.
Artinya jika  saksi tiap-tiap partai memiliki konsistensi mengikuti alur proses tersebut maka jika ada yang mencoba menyelundupkan kertas suara kosong kepada seorang caleg atau partai tertentu akan tetap ketahuan pada saat rekapitulasi akhir. Sehingga dengan demikian, jika memang ada peluang untuk memanfaatkan kertas suara yang terpakai untuk kepentingan caleg/partai tertentu, maka peluang untuk mengubah hasil perhitungan real (yang sebenarnya) juga terbuka.
Jadi, jawaban saya atas pertanyaan yang tertera dalam judul tulisan ini adalah: "golput tak memperbesar peluang kecurangan Pemilu". Â Yang memperbesar peluang terjadinya kecurangan adalah kelengahan partai dalam mengawasi mekanisme tahapan pengumpulan, penghitungan dan penetapan jumlah suara melalui saksi-saksinya. Tapi sekali lagi saya ingatkan bahwa ini adalah kesimpulan atau jawaban hipotesis saya tanpa melakukan analisi terhadap kemungkina celah atas peraturan yang ada.
Nah, jika ada teman-teman Kompasianers yang punya pengetahuan yang lebih komplit akan lebih indah kalau kita saling berbagi mengamati dan mencermati kemungkinan kecurangan ini.
Salam Kompasiana,
FDG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H