Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa Salahnya Megawati dan Paloh Pengaruhi Presiden Jokowi?

24 Februari 2015   06:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:37 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini masih terpaut dengan Komjen Budi Gunawan, tapi dengan thema berbeda. Kali ini saya ingin menulis bagaimana salah kaprah para pengkritik kebijakan Presiden Jokowi Terkait pengusulan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang kemudian memicu kisruh KPK-Polri.

Salah kaprah itu adalah ketika mereka mempersalahkan Megawati (sebagai Ketua Umum PDIP) dan Surya Paloh (sebagai Ketua Umum Partai Nasdem), yang menurut mereka terlalu ikut campur dalam kebijakan Jokowi. Dengan dalih bahwa yang mendudukkan Jokowi sebagai Presiden adalah para relawan, mereka keberatan kalau partai diberi peran terlalu besar dalam mempengaruhi kebijakan Presiden Jokowi.

Sejauh mana kebenaran cerita itu, para pengkritik juga tak bisa mengkonfirmasi. Sebagai salah seorang relawan, bahkan sebagai penyelenggara Kongres Relawan Jokowi Se Dunia di Bandung pada tahun 2013 (jauh sebelum Pencapresan), saya sering mendengar isu soal peran Megawati dan Paloh ini.

Saya sebenarnya tak begitu hirau dengan isu atau dalih pro kontra kebijakan Jokowi setelah jadi Presiden. Karena bagi saya, tugas politik saya sebagai relawan sudah selesai. Kebetulan saya bukan bukan aktifis partai, bukan pula politisi, juga bukan politikus,  tentu saya tak bisa hidup dari aktifitas politik yang terus menerus. Politik saya yang sesungguhnya adalah politik sehari-hari, yaitu menjalankan profesi sebagai advokat. Lagi pula jika pun hal itu benar, bagi saya itu adalah hal wajar. Namanya juga partai politik.

Namun karena terlalu sering mendengar isu yang itu-itu saja, dan kawan-kawan ingin agar ada semacam 'aksi relawan' lagi, saya pun menjawab: "tunjukkan pada saya dimana di dunia ini ada partai yang dibentuk bukan untuk berkuasa." Mereka pun terdiam. Terus terang, saya sebeanarnya berpikir bahwa kawan-kawan saya ini juga mau memaksakan kehendak kepada Presiden, tapi ternyata mereka tak ada peluang.

Mereka mencari-cari celah untuk mendiskreditkan partai politik. Padahal mereka sendiri sesungguhnya ingin membuka peluang bagi diri sendiri untuk menjadi bagian dari kekuasaan.

Bagi saya, partai politik memang harus mempengaruhi kekuasaan. Jangankan seorang presiden yang ia usung, presiden dari partai saingannya saja harus mampu ia pengaruhi. Jadi, jikapun benar bahwa Megawati dan Surya Paloh, ataupun Muhaimin Iskandar mempengaruhi Presiden Jokowi, hal ini adalah wajar-wajar saja.

Kalau mereka mengatakan bahwa seorang Megawati, atau seorang Surya Paloh sampai memaki-maki Jokowi, atau bahkan meludahi Jokowi, atau menodongkan senjata untuk memaksakan ini itu, barulah  sebuah masalah besar. Itu artinya, bawaannya mau perang kita.

Bagi saya wajar-wajar saja kalau partai politik pengusung Jokowi ingin mempengaruhi Presiden yang mereka dukung. Bahkan mendiktenya juga boleh, kalau mereka sanggup. Jika berpikir lebih ekstrim lagi, bagi sebuah partai jangankan mendikte seorang Presiden, bahkan angkat senjata untuk merebut kekuasaan dari tangan Presiden yang berkuasa,  juga bisa saja dilakukan jika mereka mampu dan berani. Memang begitulah partai. Gitu aja kok repot....

Begitulah selalu, dan selalu.

Kita terombang-ambing isu karena kita tidak bisa mendudukkan masalah mendasar pada tempatnya. Kita terombang-ambing trend yang diciptakan opini media massa. Bahwa seakan-akan apa yang mereka beritakan itu adalah kebenaran, padahal hanya asumsi seseorang yang ditokohkan oleh media massa.

Bukan hanya kali ini partai politik menjadi sasaran empuk kritik para aktifis. Sejak era reformasi yang menjadi era bertumbuh menjamurnya partai politik, partai politik seakan selalu berada di tengah pusaran masalah bangsa ini. Mulai dari masalah korupsi, perselingkuhan, kelangkaan bahan pokok, dan seterusnya. Tapi anehnya, setelah empat kali Pemilu sejak itu pula, kita tak pernah mendapatkan partai politik yang benar. Lalu dimana peran para pengkritik itu? Sebagian dari mereka justru menceburkan diri dalam partai politik yang menurut mereka tak becus itu. Bahkan seornag Goenawan Mohamad, pergi begitu saja tanpa pamit setelah terlibat serta mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN).

Apa artinya semua ini? Silahkan jawab melalui koment. Kalau tak bisa jawab, silakan bertanya melalui komen.

Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun