Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akhirnya memutus 21 laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi yang dilaporkan masyarakat. Dari 4 putusan yang dibacakan salah satunya putusan No.2/MKMK/L/11/2023 dengan terlapor Ketua MK, Anwar Usman.
Anggota Majelis Kehormatan MK, Wahiduddin Adams mengatakan, dalam pertimbangan Majelis Kehormatan MK menilai sekalipun kewenangan MKMK mencakup semua upaya dalam menjaga keluhuran dan martabat MK, tapi tidak berwenang untuk menilai hukum. Apalagi keabsahan putusan MK.
"Jika MKMK menilai putusan MK, maka MKMK tidak sedang dalam upaya menjaga kehormatan, keluhuran, kode etik dan perilaku hakim konstitusi, tapi menjauh dari kewenangannya," ujarnya membacakan putusan MKMK No.2/MKMK/L/11/2023 di gedung MK, Selasa (7/11/2023).
Wahiduddin menjelaskan, MKMK tidak mempertimbangkan isu dalam laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim selama meminta penilaian, pembatalan, atau koreksi putusan MK khususnya putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023. Termasuk aspek yang berkaitan dengan teknik yudisial.Â
Salah satu sebab pelapor meminta pembatalan putusan itu karena hakim yang memiliki benturan kepentingan harus mundur dalam memeriksa perkara. Kendati demikian, dalam pertimbangan Majelis Kehormatan MK berpandangan, hakim konstitusi secara negarawan harus muncul sense of ethics untuk berinisiatif mengundurkan diri ketika perkara yang ditangani punya benturan kepentingan dengan diri atau keluarganya.
Membacakan kesimpulan putusan, Ketua MKMK Prof Jimly Asshiddiqie, menyebut antara lain MKMK tidak berwenang menilai putusan MK in casu putusan perkara 90/PUU-XXI/2023. Pasal 17 ayat 6 dan 7 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman  tidak dapat diberlakukan dalam perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh MK. Menurutnya, Majelis Kehormatan MK tidak menemukan cukup bukti untuk membuktikan Anwar Usman sebagai hakim terlapor melanggar prosedur  untuk pembatalan perkara No.90/PUU-XXI/2023.
"Hakim terlapor tidak mengundurkan diri dari pemeriksaan dan pengambilan putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023 terbukti melanggar Sapta Karsa Utama (Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,-red) angka 5 Prinsip Ketakberpihakan dan angka 2 Prinsip Integritas," kata Jimly membacakan sebagian kesimpulan putusan No.2/MKMK/L/XI/2023.
Dalam kesimpulannya MKMK mengabulkan permintaan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (BEM UNUSIA) agar terlapor tidak dalam majelis yang memeriksa perkara 141/PUU-XXI/2023. Di mana perkara itu menguji Pasal 169 huruf q yang normanya sudah diubah MK melalui putusan No.90/PUU-XXI/2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H