Selang tiga minggu kemudian, penyakit itu datang lagi. Awalnya saya berusaha tenang, karena tahu ada obatnya dan saya yakin sembuh. Namun, ternyata Dokter Aji tidak bisa memberi saya obat yang sama. Celakanya, obat yang baru malah memperlama durasi sakit.
Segera saya mencari second opinion. Berkat bantuan teman yang berprofesi sebagai dokter, saya berhasil menemui dokter spesialis penyakit mulut di salah satu rumah sakit di Surabaya.Â
Ada tiga dokter yang menangani saya, satu dokter senior dan dua dokter yang sedang menjalani stase. Melalui para dokter inilah saya berhasil pulih total tanpa ada sisa tekstur lesi pada mulut. Apabila ditotal, saya perlu waktu tiga pekan untuk benar-benar sembuh dan tidak perlu mengonsumsi obat lagi.
Dokter ingin mendapat kondisi yang jernih atas keluhan saya. Untuk itu, mereka meminta saya untuk menjalani sejumlah tes. Mulai dari tes herpes, tes alergi total, tes alergi spesifik, tes jamur, hingga tes untuk mendeteksi penyakit autoimun. Saking seringnya tangan saya dicubles jarum, saya sampai bisa menilai plester dari laboratorium mana yang paling nyaman untuk kulit. Hehehe.
Hasil yang keluar ternyata menegaskan dugaan dokter. Beberapa angka cukup tinggi, bahkan jauh di atas normal. Saya sendiri sampai bingung harus menanggapi seperti apa. Pada akhirnya, saya menertawai diri sendiri.
Saya berusaha menerapkan nasihat Ibu saya, "Mungkin Tuhan ingin kamu mengalami cobaan ini agar terhindar dari cobaan lain yang jauh lebih berat."
Berkawan dengan Kondisi Spesial
Sejak kecil, Ibu sering bercerita bahwa saya memiliki kondisi kesehatan yang spesial. Atas alasan ini pula, Ibu tidak pernah absen memberi saya berbagai vitamin sejak kecil. Atensi dan kasih sayang Ibu masih saya rasakan hingga hari ini.Â
Ibu memang selalu ada dan terasa sangat dekat. Sekalipun Ibu bukan dokter, Ibu "mengobati" saya dengan cara-cara sederhana. Beliau meminta saya agar ikhlas dan sabar menjalani proses penyembuhan.
"Pasrah, Nduk, pasrahkan saja sama Allah," begitu pesan Ibu.
Ibu juga berpesan pada saya untuk menyiapkan segala keperluan apabila sewaktu-waktu penyakit ini mampir lagi. Ibu tahu persis berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk tes dan pengobatan. Bukan harga yang murah, apalagi tes di laboratorium yang saya jalani tidak ditanggung oleh asuransi kesehatan dari negara yang saya miliki.
Saya jadi teringat asuransi kesehatan yang dibeli oleh Ibu beberapa tahun lalu, yakni Allianz. Orang tua saya telah membeli asuransi kesehatan Allianz sejak lama. Kebetulan, Dokter Aji juga menjadi penghubung perkenalan orang tua saya dengan Allianz.