Praktik suap di lingkungan peradilan kembali mencuat dengan penangkapan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait kasus suap eksekusi lahan. Kasus yang melibatkan pejabat pengadilan ini menambah daftar panjang praktik kotor yang menggerogoti sistem peradilan kita. Pertanyaan mendasarnya: sampai kapan praktik kotor ini akan terus mencoreng wajah peradilan Indonesia?
Pada hari Rabu, 30 Oktober 2024, RP, seorang panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang diduga menerima suap sebesar Rp 1 miliar, diringkus oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dalam sengketa pertanahan milik PT Pertamina, RP diminta untuk mempercepat sita dan eksekusi uang senilai Rp 244,6 miliar. RP langsung ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Kejati DKI Jakarta dan dipenjara di Rutan Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jaktim.Â
Menurut Syarief Sulaiman Nahdi, Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta, korupsi suap yang melibatkan tersangka RP berasal dari penuntasan kasus lain yang sedang ditangani oleh kejaksaan. Tersangka RP, yang menjabat sebagai panitera PN Jaktim 2020--2022, menerima uang dari seorang berinisial AS. Karena itu, AS telah menjadi terpidana berdasarkan keputusan peninjaun kembali (PK) di Mahkamah Agung.Â
Uang Rp 1 miliar tersebut diberikan untuk mempercepat proses eksekusi atas putusan PK yang mengharuskan PT Pertamina Persero membayar ganti rugi senilai Rp 244,6 miliar kepada ahli waris pemilik tanah, yakni terpidana AS. Terpidana AS memberikan suap kepada tersangka RP melalui peran saksi DR yang menyatakan "Suap kepada RP diberikan AS melalui saksi DR dalam bentuk cek yang dicairkan oleh saksi DR atas perintah tersangka RP, selanjutnya diserahkan bertahap melalui transfer, dan tunai".
Realitas yang memprihatinkan, dalam penangkapan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur, RP, oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, mengungkap kembali praktik suap yang merusak integritas sistem peradilan di Indonesia. Kasus ini melibatkan suap sebesar Rp 1 miliar untuk mempercepat eksekusi putusan yang mengharuskan PT Pertamina membayar ganti rugi senilai Rp 244,6 miliar.Â
Penangkapan ini menambah daftar panjang kasus korupsi di lingkungan peradilan, dengan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan 25 kasus suap pada tahun 2023, di mana 40% melibatkan panitera.
Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengacu pada beberapa pasal dalam Kode Etik Panitera dan Juru Sita, yaitu Pasal 3, Pasal 6, dan Pasal 10. Dalam Pasal 3 melarang Panitera memberikan kesan memihak kepada salah satu pihak dalam suatu perkara.Â
Kemudian, dalam Pasal 6 menekankan kewajiban Panitera untuk mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Sementara itu, Pasal 10 menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi disiplin, termasuk pemberhentian.Â
Pandangan Para Ahli
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, dalam seminarnya di Universitas Indonesia tahun 2023, menegaskan bahwa "korupsi di lembaga peradilan adalah pengkhianatan terhadap sumpah jabatan dan nilai-nilai keadilan." Sementara itu, Dr. Artidjo Alkostar, mantan Hakim Agung, dalam bukunya "Reformasi Peradilan" (2023) menyatakan, "Integritas aparatur peradilan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar."
Data dan Fakta yang Mencengangkan
Berdasarkan penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tahun 2023, terungkap fakta:
1. 70% kasus suap di pengadilan melibatkan manipulasi administrasi perkara.
2. 55% perkara yang terlibat suap adalah perkara perdata dengan nilai ekonomi tinggi.
3. 85% kasus suap melibatkan jaringan internal dan eksternal pengadilan hanya 30% kasus suap yang berhasil diungkap dan diproses hukum
Dengan demikian, perlu adanya langkah-langkah konkret untuk mengatasi dampak yang terjadi terhadap sistem peradilan, sebagai berikut:
1. Aspek Krusial yang Membutuhkan Pembenahan