[caption id="attachment_106767" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (sodahead.com)"][/caption]
Minggu 1 Mei 2011, bersamaan dengan MayDay atau Hari Buruh Sedunia, publik dikejutkan dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama bahwa Osama bin Laden telah berhasil ditewaskan oleh pasukan khusus AS. Sontak masyarakat dunia, khususnya di AS dan Eropa, merayakan tewasnya Osama laksana merekan telah menang dalam pertempuran besar.
Terlepas dari percaya atau tidak bahwa Osama telah tewas, namun terdapat beberapa temuan menarik dalam peristiwa tewasnya Osama. Pusat gravitasi kepentingan tewasnya Osama kali ini berada pada Obama.
Tentu dalam melihat kejadian ini mesti, kita mesti melihat alur sebelum dan prediksi selepas kejadian ini.
Dalam keterangan persnya, Obama menyatakan bahwa perintah atas operasi militer menyerbu tempat keberadaan manusia paling diburu di dunia sejak 2001 itu berasal langsung darinya.Menariknya, Obama juga menyatakan bahwa informasi intelijen tentang keberadaan Osama telah diterimanya sejak Agustus 2010. Artinya, Obama telah menyimpan Osama sebagai kartu truf yang akan digunakan dalam momentum khusus.
Oleh karena itu, tidak mungkin perintah Obama untuk menyerbu markas Osama dikeluarkan tanpa adanya pembacaan terhadap situasi global dan domestik AS itu sendiri. Sederhananya, operasi penyerbuan ini dilakukan ketika Obama sedang mencari momentum yang memiliki daya ungkit yang luar biasa bagi kepentingan politik dirinya dan AS secara umum.
Jika kemudian Obama memutuskan untuk mengeluarkan perintah itu pada 1 Mei 2011, kita mesti melihat berkembangan situasi global dan domestik AS beberapa waktu terakhir sampai kemudian Obama memutuskan untuk mengeluarkan isu Osama saat ini.
Pertama, jatuhnya popularitas Obama selepas menyatakan niatnya untuk mencalonkan kembali di masa jabatan kedua. Sejak Januari 2011, melalui Juru Bicara Gedung Putih Robert Gibbs, Obama menyatakan akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden AS untuk periode keduanya. Namun demikian, perkembangan terbaru malah menunjukkan jatuhnya popularitas Obama. Surat kabar The Washington Post, edisi Kamis, 31 Maret 2011 melansir hasil survei mengenai popularitas pemerintah AS. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Publik Gallup yang menyertakan 1.027 responden orang dewasa, popularitas Presiden Obama justru jatuh di bawah Menteri Luar Negerinya, Hillary Clinton. Mantan first lady AS ini memperoleh 66 persen dukungan, sementara Obama hanya memperoleh 54 persen dukungan. Tentu fakta ini sangat mengkhuatirkan Obama yang sejak April 2011 telah mulai meluncurkan kampanye untuk pencalonan periode keduanya. Lihat: www.barackobama.com.
Kedua, janji-janji kampanye Obama yang belum direalisasikan. Dalam kampanyenya tahun 2008, Obama berjanji untuk menutup penjara Guantanamo dalam satu tahun setelah menjabat. Namun, janji ini menghadapi pertentangan sengit di Kongres dan sampai saat ini penjara tersebut masih lagi berdiri kokoh dalam waktu yang tanpa batas. Ketiga, Pemerintahan Obama terjebak dalam operasi militer terhadap Libya ditengah usaha sang presiden yang ingin menyerang kesepakatan anggaran dengan saingannya dari kubu Republik di dalam negeri. Tnetu saja tindakan operasi militer Obama tersebut malah menyudutkan pemerintahannya di hadapan oposisi. Begitu juga respon komunitas antarabangsa yang mengecam tindakan operasi militer AS di Libya ini yang diprediksi malah menambah kerus situasi di Tumur Tengah.
Keempat, Obama masih belum mampu mengangkat ekonomi AS yang masih terpuruk akibat krisis ekonomi global 2008. Berdasarkan data survei Gallup pada bulan Februari 2011, tingkat pengangguran di AS naik mencapai angka 10 persen berbanding 9.8 persen di bulan Januari. Isu ekonomi menjadi isu sangat besar dalam periode pemerintahan Obama ini, bahkan cenderung menjadi titik serangan dari opisisi.
Dari rentetan berbagai fakta beberapa waktu terakhir tersebut, Obama tentu membutuhkan sebuah peritiwa yang mampu mengungkit secara siginifikan kedudukannya saat ini. Lantas, kenapa Osama yang menjadi target?
Tentu kita tidak boleh lupa bahwa dunia memasuki dekade awal di abad 21 ini dengan satu situasi perang terorisme global (Global War on Terror) yang dimunculkan oleh Presiden George W. Bush sejak 2001. AS sebagai korban utama dari terorisme global ini tentu senantiasa fokus kepada permaslahan ini. Peristiwa serangan terhadap WTC pada 11 September 2001 (dikenali sebagai 9/11) kemudian menjadi mitos yang sangat menghantui AS. Hanya peristiwa 9/11-lah yang menyadarkan AS bahwa negaranya pernah dikalahkan oleh terorisme global. Maka, As kemudian menuduh Al-Qaeda dan pimpinannya Osama bin Laden menjadi aktor paling bertanggung jawab atas terorisme global.
Sejak itu, Osama senantiasa menghantui masyarakat AS. Bahkan seorang kolumnis majalah Time, Michael Crowley menyatakan bahwa Osama setara dengan Adolf Hitler dalam menciptakan teror psikologis terhadap masyarakat AS dan Eropa. Karena itu, tewasnya Osama akan berdampak sangat strategis bagi kebangkitan politik Obama di hadapan masayrakat AS dan dunia pada umumnya.
Namun, strategi Obama yang menggunakan isu Osama ini bukanlah sesuatu yang baru. Presiden George Bush telah terlebih dahulu mencontohkan pada tahun 2003 lalu. Ketika itu, situasi perang di Afghanistan dan Irak yang semakin memburuk. Citra AS sudah sangat terpuruk di tengah komunitas antarabangsa. Pada saat yang sama, Presiden Bush juga berkepentingan untuk maju dalam pemilihan presiden periode keduanya di tahun 2004. Sadar kondisinya tidak menguntungkannya, Presiden Bush lantas mengeluarkan jurus pamungkas melalui keberhasilan pasukan khusus AS menangkap hidup-hidup Presiden Irak yang paling diburu saat itu, Saddam Hussein pada bulan Desember 2003. Maka, peristiwa ini berperan besar dalam memuluskan jalan Presiden Bush untuk terpilih kembali melanjutkan periode keduanya dalam Pemilihan presiden 2004.
Berdasarkan rangkaian fakta-fakta tersebut, maka tewasnya Osama ini memang sangat wajar dirayakan oleh Obama dan timnya. Tanpa ini, rasanya Obama tidak akan mudah dalam menghadapi pemilihan presiden 2012 mendatang. Ya, Obama pun butuh Osama.
Oleh: Nabil Ahmad Fauzi, S.Sos.
Mahasiswa S2 Program Strategic and Security Analysis Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Presidium Forum Kajian Politik dan Strategi UKM .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H