K. H. M. Dimyathi Bin M. Amin atau yang lebih kita kenal dengan Abuya Dimyathi ini memang terkenal sebagai pribadi yang sangat luar biasa. Dalam hal mengaji, beliau juga pernah nyantri di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Di usianya yang kurang lebih 60 tahun, beliau masih menyempatkan diri untuk mengaji, nyantri atau istilahnya tabarrukan. Salah satu pesantren yang pernah beliau singgahi cukup lama adalah Pondok Pesantren Darul Hikam, Bendo Pare Kediri.
Pesantren yang berdiri pada 25 April 1908 ini memang terkenal dengan santri-santrinya yang hebat. Pengasuh pertama sekaligus muassis (pendiri) pesantren ini adalah K. H. Muhajir. Sosok kiai yang alim ini ternyata juga memesona Abuya Dimyathi untuk tabarrukan di Darul Hikam. Performa kealiman Kiai Muhajir -atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Khozin- ini nampak begitu kentara ketika beliau membacakan kitab kepada santri-santrinya.
Abuya dan Bendo
Abuya Dimyathi tiba di Bendo sekitar awal tahun 1958. Tepat setelah beliau mengaji di Ponpes. Watucongol, Magelang yang diasuh oleh K. H. Dalhar. Ketika beliau nyantri, istrinya saat itu sedang mengandung anak pertamanya, Muhtadi. Kemudian setelah putra beliau lahir, Abuya Dimyathi pulang ke Banten. Kemdian barulah Abuya Dimyathi meneruskan nyantrinya ke Bendo.
Di Bendo ini, beliau menempati komplek asrama santri Magelang. Komplek asrama ini terletak di sebelah utara masjid. Seiring berjalannya waktu, asrama ini kini telah dipugar. Sebelum dipugar, dahulu ada empat kamar kecil yang salah satunya dihuni oleh Abuya Dimyathi. Abuya Dimyathi jarang keluar dari kamarnya kecuali hanya untuk salat dan mengaji.
Di pesantren ini Abuya Dimyathi juga membacakan beberapa kitab kepada santri Bendo. Seperti Dalailul Khairat, Tafsir Munir, Al Asybah Wannadhair, serta Dalailul Khairat. Namun hingga Abuya Dimyathi meninggalkan pesantren ini, kitab Tafsir Munir belum khatam dibacanya.
Abuya Dimyathi sangat rajin dan semangat dalam mengaji. Beliau memiliki rasa tawaddlu’ yang luar biasa. Buktinya, Abuya Dimyathi juag mengikuti pengajian yang dibaca oleh Kiai Khozin yang tidak pernah libur mengaji ini. Jadwal mengaji Kiai Khozin memang cukup padat. Mulai kitab Hikam, Ad Dasuqi ala Ummul Barahin, Fathul Wahab, Qatrul Ghaits, dan Tafsir Jalalain memenuhi jadwal Kiai Khozin dari pagi hingga malam hari. Tercatat hanya lima hari saja Kiai Khozin libur mengaji. Itu pun lima hari menjelang beliau wafat. Saat itu, seusai salat Jumat Kiai Khozin mengeluh sakit. Kemudian beliau beristirahat. Semasa beliau sakit, Abuya Dimyathi diminta mewakili Kiai Khozin untuk mengaji. Hingga pada hari Selasa, Kiai Khozin pun dipanggil menghadap Sang Khaliq di usianya yang sudah cukup senja.
Bahkan hingga kini keistimewaan Abuya Dimyathi yang satu ini terus diperbincangkan dari mulut ke mulut. Istiqamah Abuya Dimyathi tidak hanya dalam hal mengaji. Ketika wudlu, salat, mengaji, dan melaksanakan aktifitas lainnya, Abuya Dimyathi selalu tepat dan tidak bergeser dari posisi biasanya. Bahkan ketika wudlu, beliau selalu mengambil tempat di pojok timur kolam dan posisi wudlunya selalu istiqbalul qiblat (menghadap kiblat). Ketika mengaji beliau juga selalu menempati sebelah utara serambi di dekat bedug.
Selama beliau nyantri, Abuya Dimyathi terkenal sebagai santri yang fakir namun juga kaya. Setiap bakda Ashar dan malam hari, banyak santri yang memberi beliau bungkusan yang berisi ketela goreng. Kemudian beliau mengambil satu potong ketela itu dan memberikan sisanya kepada santri lainnya. Kejadian seperti ini berlangsung berangsur-angsur selama beliau nyantri di Bendo.
Teman-teman beliau ketika nyantri di Bendo antara lain yaitu Kiai Salman (Popongan), Gus Maddah (Kencong), Kiai Khudlori (Ponorogo), Kiai Imam Turmudzi (Banyuwangi), Kiai Abu Hasan Syadzili (Banyuwangi).
Kejadian Aneh Semasa Nyantri
Bahkan ada cerita unik ketika beliau membaca kitab Dalailul Khairat. Seperti biasanya, banyak sami’in (santri) yang ikut mengaji pada Abuya Dimyathi. Namun seusai mengaji mereka mengeluh perutnya terasa sakit. Termasuk khadam beliau, Muhtarom, juga ikut mulas. Kejadian unik ini semakin memperlihatkan bahwa Abuya Dimyathi bukanlah orang biasa. Abuya Dimyathi adalah orang yang dikasihi Allah, sampai-sampai santri yang ikut mengaji pun merasakan sendiri karamah beliau.
Ada cerita lagi yang menunjukkan karamah kiai yang selalu bertarawih dengan mengkhatamkan Al Quran dalam bacaan salatnya ini. Waktu itu ketika ada cekcok antar tukang becak. Bahkan percekcokan itu sudah lumayan besar. Ada segerombolan orang yang hendak menyerbu Pondok Bendo. Ketika sampai di jembatan, gerombolan itu bertemu Abuya Dimyathi. Beliau berkata, ”Di sana ada ular, pemimpinnya juga tergigit ular.” Padahal sebelumnya Abuya belum ke pondok dan mengetahui keadaan sebenarnya. Namun begitulah yang terjadi, dan akhirnya gerombolan itu mengurungkan niatnya untuk menyerbu Bendo atas ucapan Abuya tadi.