Oleh: Muchamad Nabil Haroen* Indonesia membutuhkan pemimpin yangtidak hanya memberi harapan, namun juga mengeksekusi kebijakan. Di ruangpolitik negeri, yang sering terjadi adalah kontestasi merebut kekuasaan, bukanperjuangan menegakkan misi kebangsaan. Kebijakan-kebijakan para penguasa,terasa lebih mementingkan kelompok dan lingkaran kroninya, lalu lupa denganaspirasi rakyat yang sesungguhnya. Inilah wajah politik negeri saat ini?Renungan-renungan tentang politik kebangsaan, perlu dihadirkan kembali sebagaiinspirasi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) saat ini. Kontestasi menjelang pilpres 9 Juli2014, menjadi medan pertarungan kepentingan dan strategi politik. Inilah ruangdimana, kawan dan lawan hanya ditentukan oleh kepentingan. Pertarungan politiktidak mengenal kawan dan lawan sejati, yang abadi hanyalah kepentingan. Wajahpolitik Indonesia mutakhir adalah politik tanpa refleksi. Visi misi seolahhanya dijadikan alat kampanye untuk meraih simpati, bukan sebagai instrumenutama untuk menentukan arah kebijakan bangsa. Pertarungan politik antaracapres-cawapres Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menjadibabak penting dalam menentukan arah bangsa ke depan. Indonesia membutuhkan pemimpinyang kuat, berani, visioner sekaligu memahami aspirasi rakyat. Pemimpin yangduduk di menara gading yang hanya bertopeng citra, sejatinya adalah mereka yangmembelakangi kehendak rakyat. Justru, pemimpin yang tiap hari bergulat keringatdan berjibaku dengan problem mendasar warganya yang dibutuhkan oleh bangsa ini.Sudah terlalu banyak pemimpin yang bisa bicara, namun sedikit yang mampumendengar keluhan dan aspirasi nurani rakyatnya. Akan tetapi, pemimpin yang merakyattidaklah cukup. Presiden yang kuat dan mampu mengeksekusi kebijakan-kebijakanyang pro-rakyat sangat dibutuhkan, karena negeri ini akan berada dalamgelanggang persaingan antar-negara dalam politik, ekonomi dan kebudayaan. Politik Kaum Nahdliyyin Historiografi politik Indonesia perlumelihat Nahdlatul Ulama (NU) sebagai referensi. NU tidak hanya organisasi,namun juga sikap dan tindakan para ulamanya. Kiai-kiai NU tidak hanya berpijakpada prinsip politik populer berbasis citra, namun berbekal dengan prinsip etikdan dasar fiqh politik (fiqh siyasah)untuk merumuskan agenda-agenda strategis terkait kepentingan bangsa. Kaidah maqashid as-syari’ah Imam as-Syatibi, dapat menjadi renunganbagaimana politik memberikan keberpihakan. Imamas-syathibi menjelaskan ada lima prinsip dasar: (1) menjaga agama (hifzh ad-din), (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs), (3) menjaga akal (hifzh al-aql), (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl), (5) menjaga harta (hifzh al-mal). Prinsip-prinsip inilahyang menjadi referensi penting. Prinsip-prinsip inilah yang dapat menjadi acuanpenting dalam penyelenggaraan negara, untuk melindungi segenap kepentinganwarganya. Inilah yangsejatinya menjadi prinsip dasar bagi warga nahdliyyin dalam menentukan sikappolitiknya. Tujuan-tujuan politik yang diusahakan oleh kiai-kiai NU, tidakdalam rangka merengkuh politik kekuasaan, namun politik kebangsaan. Sejarahhidup KH. Abdurrahman Wahid masih segar dalam ingatan kita, bagaimana iaberjuang dalam seluruh hidupnya untuk kemaslahatan bangsa ini. Politik yangdiperjuangkan Gus Dur adalah politik untuk visi masa depan bangsa, perlindunganterhadap minoritas dan pintu gerbang menuju kemakmuran. SepakterjangGus Dur selama memimpin NU dapat dijadikan teladan, bagaimana ia bisa menjalinkomunikasi dengan tokoh-tokoh lintas etnis, agama dan ideologi. Hal inipenting, agar komunikasi lintas kultur dan pemahaman terhadap kebijakan negaradapat diterjemahkan dalam strategi organisasi secara komprehensif. Ketikamenjadi presiden Indonesia, Gus Dur tidak serta merta menggunakan kekuasaan untukkepentingan pribadi dan golongan. Justru, beliau mengeluarkankebijakan-kebijakan strategis yang menjadi masterplan Indonesia masa depan.Kebijakan Gus Dur terhadap orang Tionghoa, warga Papua dan kelompok-kelompokyang terdiskriminasi oleh sistem politik menjadi referensi nyata. Politik Mashlahah Apa yangdiperjuangkan Gus Dur ternyata berakar dari renungan panjang tentang kebangsaankita. Gus Dur mendapat pencerahan dari keteladanan kakeknya, KH. HasyimAsy’arie dan ayahnya, Kiai Wahid Hasyim. Kedua tokoh ini merupakan referensisikap dan pemikiran bagi kaum nahdliyyin. Kiai Hasyim Asy’arie menjadi yangmenjadi penyambung silsilah penguasa Majapahit-Mataram hingga jaringan ulamaNusantara. Beliau menyandang dua kategori kebangsawanan: bangsawan darah birudan bangsawan pikiran. Bangsawan struktural dengan nasab yang tersambung padapenguasa Majapahit menjadi basis sejarah dan kepribadian Hadratus Syaich HasyimAsy’arie. Sedangkan, tingkat keilmuan dan kedalaman pemikiran Kiai Hasyimmenjadikan beliau layak dianggap sebagai ulama besar. Selain itu, Kiai Hasyimjuga menjadi jembatan yang menghubungkan ulama-ulama Timur Tengah danNusantara, berkat hubungan guru-murid dan persahabatan selama di pesantren. Kekuatansimbolik dan legitimasi keilmuan inilah yang kemudian menjadi kekuatan KiaiHasyim ketika menggerakkan kiai-santri dalam pertempuran November 1945 diSurabaya. Resolusi Jihad yang digelorakan Kiai Hasyim sejatinya adalah gerbanguntuk melihat bagaimana peran ulama-santri dalam menggalang kemerdekaan. KiaiHasyim dan jaringan kiai di seluruh Jawa, tampil dalam garda depan di medanlaga. Inilah yang dikenang oleh Bung Tomo dan barisan pemuda di Jawa Timur,yang sangat menghormati para kiai karena menyuntikkan semangat dan menggerakanribuan pemuda-santri. Dari peristiwa 10 November 1945, dapat dilihat bagaimanaperan ulama dan jaringan pesantren dalam perjuangan kemerdekan bangsa. Akan tetapi,setelah merdeka, sejarah pesantren tidak mendapat ruang dalam historografiIndonesia. Peran ulama-santri dilupakan dalam narasi pengetahuan. Padahal, parakiai memang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan, dengan strategi politikkebangsaan, bukan politik kekuasaan. Apayang diperjuangkan Kiai Hasyim Asy’arie dapat menjadi referensi tentangbagaimana memberi sumbangsih kepada bangsa, tanpa harus larut dalam sengketapolitik. Strategi politik kebangsaan menjadi tulang punggungnya. Politikkebangsaan kaum Nahdliyyin bertumpu pada spirit nahdlatul wathan, yakni upaya untuk menggerakan sumber daya danpemikiran untuk kebangkitan bangsa. Usaha untuk membangkitkan bangsa butuhkepemimpinan yang kuat, yang mampu berkiprah dengan bertopang niat teguh danmenjalankan strategi politik yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat.Politik mashlahah adalah prinsip dan upaya kaum nahdliyyin untuk menegakkanbangsa, bukan melemahkan negara. Indonesia saatini membutuhkan pemimpin yang visioner, kuat dan mampu membawa negeri ini dalamkontestasi global. Indonesia perlu belajar dari kiprah Gus Dur, meskipun dengankontekstualisasi ulang atas konsep dan strategi politik. Rujukan etik, prinsipmoral dan kaidah ushul fiqh-fiqh siyasah(fiqh politik) yang dipraktikkan KH. Hasyim Asy’arie dan Gus Dur menjadi cerminbagi pemimpin masa depan. *)Penulis adalah Peneliti Sekolah Tinggi Agama Islam NU (STAINU) Jakarta, Sekretaris Umum PP (PimpinanPusat) Pencak Silat NU Pagar Nusa (Koran Sindo, 7 Juni 2014, halaman 10)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H