Pernahkah Anda merasa tergoda untuk membeli sesuatu hanya karena melihatnya di media sosial? Mungkin Anda pernah bertanya-tanya mengapa remaja begitu mudah terjebak dalam godaan produk-produk terbaru. Jawabannya lebih kompleks dari pada yang kita kira. Di balik layar, algoritma media sosial yang semakin canggih telah menciptakan ekosistem digital yang secara halus memandu remaja untuk menjadi konsumen aktif. Setiap gesekan jari, setiap like dan komentar, menjadi data yang dipakai untuk menyajikan konten yang sangat relevan dan memikat. Dari iklan produk yang menjanjikan kepuasan instan hingga pengaruh teman sebaya yang terus-menerus menunjukkan gaya hidup terkini, remaja kini hidup dalam dunia yang dirancang untuk membuat mereka terus mengikuti tren dan membeli produk tanpa benar-benar memikirkan kebutuhan mereka.
Salah satu faktor utama yang mendasari perilaku konsumtif remaja adalah fenomena psikologis yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO). FOMO merujuk pada perasaan cemas bahwa seseorang ketinggalan informasi atau pengalaman yang lebih menarik dari pada yang sedang dialami. Bagi remaja, FOMO mendorong mereka untuk terus membeli produk terbaru agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Hal ini diperparah oleh pengaruh teman sebaya dan influencer yang sering memamerkan gaya hidup mewah serta produk-produk terbaru di media sosial. Apa yang dilihat remaja di platform-platform ini mendorong mereka untuk mengikuti tren dan memiliki barang-barang yang tengah populer.Â
Tak jarang, influencer menjadi salah satu faktor utama yang mendorong remaja untuk melakukan pembelian tanpa pertimbangan. Gaya hidup yang dipamerkan oleh influencer, yang sering kali menunjukkan kemewahan, menciptakan standar yang harus diikuti oleh remaja agar tidak merasa rendah bahkan ketinggalan. Hal ini mengarah pada budaya konsumtif, di mana barang-barang dibeli bukan karena kebutuhan, tetapi untuk menjaga citra di kalangan teman-teman atau demi memperoleh pengakuan di media sosial. Fenomena ini berdampak buruk terhadap perilaku keuangan remaja. Banyak yang terjebak dalam siklus konsumsi yang berlebihan, tanpa menyadari konsekuensinya. Siswa di SMA Negeri 3 Maros, misalnya, menunjukkan bagaimana remaja sering membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan hanya untuk mengikuti tren atau gengsi. Kebiasaan ini tidak hanya merusak kondisi keuangan pribadi, tetapi juga menambah tekanan sosial yang signifikan. Remaja merasa terdorong untuk berbelanja demi mempertahankan citra diri di media sosial, yang pada akhirnya menyebabkan masalah keuangan, stres, bahkan penurunan prestasi belajar.Â
Meskipun media sosial memberikan banyak manfaat, kita sebagai pengguna perlu memiliki kesadaran diri yang lebih tinggi. Algoritma media sosial yang cerdas semakin mampu mempersonalisasi konten sesuai dengan keinginan kita, sementara pengaruh teman sebaya dan influencer terus memperkuat perilaku konsumtif. Hal ini memicu FOMO yang jika dibiarkan, dapat merugikan kesehatan mental remaja. Oleh karena itu, sangat penting bagi remaja untuk memiliki kesadaran dalam memilih konten yang mendidik dan bermanfaat. Selain itu, manajemen waktu yang bijak dalam menggunakan media sosial akan membantu menghindari terjebak dalam perangkap konten marketing semata. Sebelum memutuskan untuk membeli, tanyakan pada diri sendiri: apakah keputusan ini didasari oleh kebutuhan, atau hanya terpengaruh oleh orang lainnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H