Mohon tunggu...
Nabila Retno Damayanti
Nabila Retno Damayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS

Mahasiswa S1 jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Memiliki kertarikan dalam bidang jurnalistik seperti reporter serta pembawa berita.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bukit Paralayang Kemuning: Simfoni Kebersamaan di Antara Gemerlap City Light

31 Desember 2024   14:57 Diperbarui: 31 Desember 2024   14:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana city light dari atas Cafe Lereng Lawu, Bukit Paralayang Kemuning. (Sumber: Dokumen pribadi)

"Jangan lupa bawa bolpen sama jaket ya."

Pesan singkat dari Macil di grup WhatsApp menjadi awal perjalanan kami malam itu. Tanpa tahu pasti ke mana tujuan kami, pesan tersebut terdengar seperti petunjuk menuju tempat yang jauh dan dingin. Titik kumpul telah disepakati di rumah indekos Tisya. Selain membawa bolpen dan jaket, Macil juga meminta kami membawa jajanan unik dengan harga tidak lebih dari dua puluh ribu. Sekitar pukul setengah sembilan malam, kami berenam sudah berkumpul dengan barang bawaan masing-masing.

Tak lama, Macil tiba dengan mobilnya. Kami segera naik dan menempati kursi masing-masing. Perjalanan malam dari Solo sungguh terasa syahdu. Angin malam yang berhembus menggantikan fungsi pendingin mobil, membuat suasana hangat di tengah tawa dan obrolan kami. Tak hanya bercanda, kami juga bernyanyi bersama diiringi playlist Spotify yang dibuat dadakan oleh kami bertujuh. Perjalanan semakin terasa spesial ketika melewati jalan menanjak. "Coba lihat ke kiri," ucap Macil. Saya pun menoleh. Terbentanglah pemandangan city light yang begitu memukau. Lampu-lampu kecil yang berkilauan di kejauhan membuat saya tak bisa berpaling.

Setelah perjalanan kurang lebih satu setengah jam yang terasa singkat, kami tiba di tempat tujuan, Bukit Paralayang Kemuning. Sebelum masuk, kami membayar tiket sebesar Rp10.000 per orang. Nasya, yang sejak awal penasaran, langsung berseru, "Kan benar aku bilang, ini pasti ke Bukit Paralayang! Thanks ya, Cil, udah bawa kita ke sini."

Udara dingin langsung menyapa begitu kami keluar dari mobil. Hawa dinginnya menggigit. Betapa bersyukurnya saya membawa jaket seperti yang disarankan. Kami menuju sebuah kafe di kawasan tersebut yang bernama Cafe Lereng Lawu. Kafe ini memiliki area lantai dua yang terbuka, memungkinkan pengunjung menikmati pemandangan langsung dari atas bukit. Kami memilih tempat di lantai dua, meski angin malam terasa lebih kencang di sana.

Pemandangan yang tersaji begitu indah. Dari atas, city light berpadu dengan bentang alam yang luas, menciptakan harmoni antara cahaya buatan manusia dan keagungan alam. Kami tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikan momen. Foto-foto dan video pendek memenuhi memori ponsel kami. Namun, kesibukan kami terhenti oleh teguran Furqon, "Eh, cepetan pesen dulu menunya."

Satu per satu kami menyebutkan pesanan. Saya memilih susu putih hangat dan mi instan kuah dengan telur. Harganya tak sampai dua puluh lima ribu rupiah. Cukup terjangkau untuk sebuah kafe di lokasi wisata. Setelah itu, kami mengantar pesanan ke lantai bawah.

Tak lama, Napwi mengusulkan, "Makan di bawah aja, ya? Di sini dingin banget." Kami semua setuju dan pindah ke area lesehan di lantai bawah, lebih hangat dan nyaman. Sambil menunggu pesanan datang, kami membuka jajanan unik yang dibawa masing-masing. Jajanan tersebut kami tukarkan satu sama lain, menambah keseruan malam itu.

Tak berhenti di situ, Macil mengeluarkan kertas kecil dan meminta kami menulis kesan dan pesan untuk satu sama lain. Sambil menunggu pesanan tiba, kami mulai menuliskan kata-kata untuk teman-teman di tengah gurauan kecil yang hangat. Tangan-tangan kami sibuk mencoretkan kalimat di atas kertas, sementara hidangan yang mulai diantarkan ke meja menambah semarak suasana.

Kami menikmati makanan dan minuman hangat sembari menyelesaikan tulisan kami. Sesekali, obrolan ringan mengisi jeda di antara suapan, membuat tawa dan keakraban kian terasa. Setelah semuanya selesai menulis, kertas itu diberikan kepada masing-masing orang sesuai nama yang tertera. Saat membaca dan membacakan isi pesan tersebut, suasana menjadi lebih hangat. Tawa renyah, sorakan kecil, hingga keheningan penuh haru bergantian menghiasi malam itu, menciptakan momen yang tak terlupakan.

Malam itu terasa begitu berkesan. Perjalanan singkat ke Bukit Paralayang dan Cafe Lereng Lawu bukan hanya menjadi cerita perjalanan, tetapi juga pengingat betapa hangatnya kebersamaan. Jika Anda mencari tempat untuk menghabiskan malam sambil menikmati city light dari ketinggian, Bukit Paralayang adalah jawabannya. Dengan hawa sejuk, pemandangan yang memukau, dan harga yang ramah di kantong, tempat ini adalah pilihan sempurna untuk menciptakan kenangan indah bersama orang terdekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun