PEMBAHASAN
        Islam menolak adanya jaminan dalam perdagangan, seperti yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa dalam perdagangan harus ada prinsip "alkharaj bil-Dhaman," yang berarti bahwa keuntungan harus seiring dengan adanya risiko atau biaya (Rachmad Risqy & Umi Aslimah, 2021). Prinsip hak atas pendapatan dalam syariah didasarkan pada tanggung jawab untuk menanggung kerugian. Tidak diperbolehkan bagi individu atau lembaga untuk meraih keuntungan tanpa menanggung tanggung jawab. Risiko menjadi elemen penting dalam menghasilkan keuntungan karena risiko tersebut membentuk dasar bagi pembagian laba antara perusahaan dan investor (Sri Rahmany, 2017). Untuk menghindari atau mengurangi risiko, Islam secara khusus memperbolehkan tindakan pencegahan yang bijaksana melalui manajemen risiko. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa tidak ada kesamaan dengan keuangan konvensional yang sering mendasarkan sistemnya pada hutang saat menghadapi risiko. Manajemen risiko juga diperlukan dalam instrumen keuangan syariah, termasuk Sukuk (Asy'ari Suparmin, 2018). Sukuk memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan obligasi konvensional. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sukuk juga dapat menghadapi berbagai jenis risiko yang tidak ada pada obligasi konvensional (Faridatuz Zakiyah, 2017). Sukuk dan industri keuangan syariah pada umumnya menghadapi beberapa risiko unik. Beberapa diantara nya seperti:
- Risiko likuiditas lembaga keuangan Islam tidak memberikan jaminan pengembalian atas simpanan atau investasi dari para investor. Akibatnya, investor dapat memindahkan dana mereka ke lembaga keuangan lain jika pengembaliannya tidak memenuhi harapan mereka (Dewi Oktayani, 2017). Nasabah atau investor juga dapat dengan cepat menarik dananya. Untuk meminimalkan risiko ini, dapat dilakukan metode kemitraan di mana pemodal menyediakan modal ekuitas dan saham, berbagi risiko dan imbalan usaha (Rijal Allamah Harahap & Saparuddin Siregar, 2022). Selain itu, struktur modal pada perusahaan Islam dapat berfungsi sebagai manajemen risiko, karena kemitraan dalam perusahaan Islam mendorong para mitra untuk melakukan upaya yang diperlukan dalam mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola risiko.
- Risiko gagal bayar terjadi ketika peminjam tidak dapat melunasi pinjaman pada saat jatuh tempo. Default sukuk juga terjadi jika peminjam gagal membayar bunga. Kondisi ini akan mempengaruhi tingkat suku bunga yang dikenakan pada instrumen utang; semakin besar risiko default, semakin tinggi suku bunga yang dibebankan oleh pemberi pinjaman (Dini Wulandari dan Mangasa Augustinus Sipahutar, 2021). Peningkatan risiko dalam arus kas operasi peminjam juga meningkatkan kemungkinan terjadinya gagal bayar (Utami dan Uluan Silaen, 2018). Gagal bayar pada sukuk terjadi ketika ada pelanggaran terhadap kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian awal antara penerbit sukuk dan pemegangnya. Meskipun demikian, sukuk dianggap lebih aman dibandingkan obligasi konvensional karena sukuk didukung oleh aset yang dapat menjamin pengembalian, sedangkan obligasi konvensional bergantung pada bunga dan tidak didukung oleh aset.
- Risiko ketidakpatuhan syariah adalah risiko yang muncul ketika instrumen keuangan syariah atau suatu kontrak gagal mematuhi aturan dan prinsip syariah yang telah ditetapkan oleh dewan pengawas syariah (Fita Ishfah A'ini, 2016). Risiko ini pada sukuk diartikan sebagai risiko penurunan nilai aset, karena ketidakpatuhan terhadap syariah dapat memengaruhi reputasi sukuk serta mengurangi kepercayaan investor terhadapnya (Sri Nurul Komariyah, 2016). Oleh karena itu, penerbitan sukuk harus disusun dengan melibatkan Dewan Pengawas Syariah untuk mengidentifikasi risiko kepatuhan yang mungkin terjadi. Selain itu, penting untuk melibatkan penasihat internal dan eksternal selama proses pengembangan produk sukuk. Meskipun fatwa yang menyatakan suatu sukuk halal atau tidak telah dikeluarkan, perbedaan pendapat tetap bisa terjadi, dan pihak-pihak terkait perlu mempertimbangkan berbagai pandangan yang ada (Dede, 2019).
Penempatan dana haji dalam investasi sukuk memungkinkan Bank Syariah untuk menentukan sendiri tenor atau jangka waktu investasi sukuk tersebut, karena bersifat private placement. Ini memberikan peluang untuk pengembangan dana haji melalui instrumen sukuk negara, karena investasi sukuk menguntungkan dalam mengelola likuiditas sesuai dengan rencana penggunaan dana haji. Namun, sukuk dana haji bersifat nontradable, artinya tidak bisa ditarik kapan saja, yang merupakan kelemahan dalam investasi ini. Untuk mengatasi masalah nontradability, Bank Syariah juga mengalokasikan dana haji ke SBSN seri lain, seperti sukuk seri PBS atau Project Based Sukuk, yang dapat diperdagangkan (tradeable). Dengan demikian, Bank Syariah dapat dengan mudah menarik dana tersebut di pasar sekunder, yang juga berfungsi sebagai cadangan kerugian dengan struktur yang lebih fleksibel.Â
Selain sukuk dana haji, Bank Syariah juga berinvestasi pada SBSN yang tradable, memungkinkan pengelolaan likuiditas yang lebih mudah. Likuiditas yang ada terkait dengan minat dan kebutuhan umat Muslim untuk beribadah haji setiap tahun yang terus meningkat. Dengan waktu tunggu yang mencapai lebih dari 33 tahun, Bank Syariah memiliki waktu untuk mengelola dana haji guna menghindari risiko inflasi. Kebutuhan likuiditas BPIH setiap tahun, karena pengeluaran untuk keperluan calon jamaah haji, menjadikan SBSN sebagai alternatif investasi utama dengan imbal hasil dan risiko yang terkendali (Indin Rarasati, 2022). Penerbitan Sukuk Dana Haji dengan jangka waktu tetap setiap tahunnya memudahkan Bank Syariah dalam memperoleh likuiditas untuk memenuhi kewajiban kepada calon jamaah haji yang berangkat setiap tahun. Tingkat likuiditas pasar diukur berdasarkan perbedaan harga (spread) antara harga penawaran (bid) dan harga permintaan (ask).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H