Dalam era digital yang semakin kompleks, ancaman siber atau Cyber Threats telah menjadi salah satu isu utama dalam hubungan internasional dan keamanan global. Ancaman ini tidak lagi terbentuk pada pencurian data atau gangguan teknis, tetapi telah berkembang menjadi strategi geopolitik yang digunakan oleh negara-negara untuk memperkuat posisi mereka di lingkungan internasional.
Dalam pandangan neorealisme, sistem internasional bersifat anarkis, yang berarti tidak ada otoritas global yang bisa mengendalikan tindakan negara-negara. Ancaman siber dipandang sebagai fenomena yang secara signifikan memengaruhi distribusi kekuasaan di dunia, dengan implikasi strategis yang memengaruhi hubungan antar negara dan kebijakan keamanan nasional. Dalam konteks ancaman siber, serangan bisa diluncurkan oleh aktor negara maupun non-negara, tanpa adanya mekanisme global yang efektif untuk mengatur atau mencegahnya dan hal ini memperkuat rasa ketidak-amanan antarnegara. Oleh karena itu, setiap negara berusaha untuk mengembangkan kapabilitas sibernya untuk melindungi infrastruktur kritis mereka dan menanggulangi serangan siber dari negara lain.
Neo-Realis percaya bahwa, Cyber Threats adalah bentuk ancaman baru yang memungkinkan negara-negara untuk memproyeksikan kekuasaan tanpa keterlibatan langsung dalam konflik bersenjata. Serangan siber dapat melumpuhkan infrastruktur kritis, seperti jaringan listrik, sistem perbankan, atau komunikasi negara, tanpa perlu menginvasi secara fisik. Bagi neo-realisme, yang berfokus pada persaingan kekuasaan dan kepentingan nasional, ancaman siber ini menjadi alat yang efektif dalam memperlemah pesaing atau menegaskan dominasi di tataran global. Karakteristik dari ancaman siber yang tidak kasat mata dan sering kali sulit dilacak membuatnya menjadi alat yang menarik bagi negara-negara yang ingin mengguncang keseimbangan kekuasaan tanpa menimbulkan eskalasi militer yang langsung. Negara-negara dengan kapabilitas siber yang kuat dapat menggunakan perang asimetris, di mana serangan terhadap infrastruktur digital dapat memiliki dampak besar meski dilakukan oleh negara yang lebih kecil atau dengan sumber daya terbatas.
Sebagai contoh, penggunaan siber oleh negara-negara seperti Rusia atau China sering kali dianalisis sebagai upaya untuk menggeser keseimbangan kekuasaan dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Dalam situasi ini, negara-negara dengan kapabilitas siber yang kuat dapat memperkuat posisi geopolitik mereka tanpa perlu keterlibatan militer konvensional.
Neorealisme juga menekankan pentingnya aliansi untuk menghadapi ancaman bersama. Seiring meningkatnya ancaman siber, negara-negara membentuk aliansi keamanan siber untuk berbagi intelijen, teknologi, dan kapasitas pertahanan. Aliansi ini mencerminkan upaya negara untuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan di dunia yang semakin digital. Dalam dunia yang dipengaruhi oleh teknologi, negara-negara yang memiliki kapabilitas siber yang superior dapat menggunakan kemampuan ini sebagai alat diplomasi dan negosiasi internasional. Neo-realisme menyoroti bagaimana negara dapat menggunakan siber untuk menekan atau memanipulasi negara lain demi mendapatkan keuntungan dalam perundingan internasional. Ancaman atau serangan siber yang ditargetkan terhadap sistem ekonomi atau militer dapat digunakan sebagai bentuk coercive diplomacy (diplomasi koersif).
Secara keseluruhan, Cyber Threats dalam perspektif neo-realis merupakan bagian dari dinamika kekuasaan yang berlangsung dalam sistem internasional. Negara-negara terus berusaha menyeimbangkan kekuatan mereka di dunia yang semakin terhubung dan bergantung pada teknologi digital, sementara kecemasan yang diciptakan oleh ancaman ini hanya menambah kompleksitas dalam hubungan antarnegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H