Salah satu hak atas tanah menurut UUPA (undang undang pokok agraria) adalah Hak milik diatur dalam UU Pokok Agraria dalam Pasal 20-27 yang menjelaskan bahwa hak milik adalah turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 yaitu mempunyai fungsi sosial.
Kasus ini bermula dari konflik antara warga Desa di Sulawesi Selatan dengan pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan di tempat tersebut yaitu ahli waris Daeng Sija yang bernama Murring. Warga desa menolak dan menganggap ahli waris tersebut mengada-ada, melihat hal tersebut pemerintah melakukan upaya musyawarah tetapi tidak pernah ada yang mencapai kesepakatan, akhirnya ahli waris mengungat 28 petani di pengadilan negeri. Pengugat menghadirkan saksi pendukung yaitu Muajji dalam pernyataannya ia mengatakan bahwa kepemilikan tanah itu milik Daeng Sija dengan nama kepemilikan oleh istrinya Badjdje Binti Besse Po'ro dan adapun surat keterangan yang ditulis pada 16 Agustus 2018 dengan materai Rp 6.000 menyatakan bahwa lahan yang dilindungi benar milik Daeng Sija. Pada putusan pengadilan 28 Mei 2020 hakim memutuskan gugatan tersebut dengan status NO (Niet Ontvankelijke Verklaard).
Hak milik itu sendiri merupakan hak terkuat yang dimiliki oleh orang, dalam kasus diatas hak milik yang dimiliki harus mempunyai bukti yang kuat dan cukup untuk bisa memenangkan serta membuat hakim yakin tentang bukti yang diberikan, pada dasarnya bukti yang di miliki belum cukup kuat untuk menyakinkan hakim serta para tergugat yang lain
Sebagaimana dalam pasal 20 ayat 1 menyatakan bahwa hak milik adalah turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 yaitu mempunyai fungsi sosial, Â pasal 19 ayat 2 (c) menyatakan bahwa pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat dan pada pasal 23 ayat 2 menyatakan bahwa pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai penghapusannya hak milik serta sahnya pelestarian dan pembebanan hak tersebut. Sebagaimana pada pasal-pasal diatas menjelaskan bahwa hak milik merupakan hak terkuat yang dimiliki oleh pemilik tanah pada kasus diatas ditinjau dari aspek hukum ahli waris menghadirkan saksi yang memberikan pernyataan yang sama dengan menyatakan bahwa tanah tersebut milik Daeng Sija (mending Ayah pengugat) tetapi jika ditinjau dari aspek sosial petani (tergugat) atau warga desa telah lama bermukim ditempat tersebut bahkan mereka berkebun sebagai mata pencaharian sekaligus kebutuhan pangannya. Keputusan hakim sebenarnya tidak dapat ditelan mentah-mentah begitu saja kita juga harus melihat pertimbangan hakim kepada tergugat dan pengugat mengapa memenangkan petani. Tapi dalam kasus ini keputusan yang di ambil oleh hakim sudah tepat atau seperti jalan tengah untuk kedua pihak di mana hakim menyatakan status NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) yang dimana berarti gugatan tidak dapat di terima, sesuai dengan pernyataan kuasa hukum warga,menyatakan objek yang disengketakan salah tempat, adapun menurutnya persoalan ini terdapat oknum-oknum yang ingin memanfaatkan situasi pasalnya daerah tersebut memang sudah beberapa kali di incar oleh pengusaha dan perusahaan tetapi di tolak oleh warga.
Solusi yang paling tepat adalah dengan memenangkan petani (warga desa) keputusan hakim sudah tepat, pasalnya petani hidup dan tinggal di tempat tersebut sudah lama mata pencaharian merekapun di tempat tersebut wajar saja jika petani (warga desa) memperjuangkan apa yang seharusnya jadi milik mereka adapun ahli waris tersebut tidak terlalu dirugikan pasalnya belum ada kontribusi ahli waris terhadap tempat tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H