Mohon tunggu...
Nabila Marwa Nurhadi
Nabila Marwa Nurhadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student

A Second-year college student of Journalism at Padjadjaran University with an interest in writing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Glorifikasi Sifat Maskulinitas: Hari Ayah Tak Sepopuler Hari Ibu

31 Desember 2022   14:26 Diperbarui: 31 Desember 2022   14:33 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak banyak yang mengetahui bahwa 12 November diperingati sebagai hari Ayah Nasional dan 19 Juni sebagai Hari Ayah Sedunia. Berbeda dengan Hari Ibu, yang kerap lebih banyak diketahui dan lebih sering diperingati setiap tanggal 22 Desember. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Ayah sudah menjadi hal yang populer hingga dijadikan hari libur untuk perayaannya sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ayah. Hari Ayah di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah sudah diperingati sejak awal abad ke-12 dan disebut sebagai International Men's Day. Sementara di Indonesia, Hari Ayah masih kurang popular jika dibandingkan dengan Hari Ibu. Hari Ayah baru dideklarasikan kurang dari dua dekade lalu, yaitu sekitar tahun 2006.

Peringatan Hari Ayah di Indonesia dideklarasikan oleh Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP). Peringatan Hari Ayah ini bermula ketika PPIP sedang mengadakan lomba menulis surat pada Hari Ibu. Seusai acara, mayoritas peserta lomba mempertanyakan lomba menulis surat untuk Hari Ayah kepada panitia. Kala itu, belum ada agenda nasional yang secara khusus menandakan Hari Ayah. PPIP kemudian melakukan audiensi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surakarta untuk membuat agenda peringatan Hari Ayah di Indonesia. Kemudian pada tanggal 12 November 2006, setelah melakukan audiensi PPIP menggelar deklarasi di Pendapi Gede Balai Kota Solo yang dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai kalangan yang berbeda. Peristiwa tersebut menjadi tonggak sejarah penetapan Hari Ayah di Indonesia yang diperingati setiap tanggal 12 November.

Di Negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Ayah Sedunia bermula dari kisah seorang anak Bernama Sonora Smart Dodd pada tahun 1909. Kala itu, Dodd sedang mendengarkan pidato mengenai Hari Ibu di Gereja. Dodd ingin menetapkan hari yang istimewa layaknya Hari Ibu untuk ayahnya karena ayahnya lah yang telah mengurus dan menjaga Dodd semenjak ibunya meninggal dunia ketika melahirkannya. Pada awalnya Dodd ingin menetapkan Hari Ayah sesuai dengan tanggal ulang tahun ayahnya, yaitu 5 Juni. Dodd juga mengajukan beberapa petisi agar hari tersebut dapat diakui menjadi hari libur di kotanya. Setelah memakan waktu yang cukup lama, keinginan Dodd untuk menciptakan Hari Ayah dapat terwujud pada 19 Juni 1910. Semenjak saat itu, Hari Ayah Sedunia diperingati pada tanggal 19 Juni hingga saat ini. Pada perayaan Hari Ayah Sedunia, anak perempuan akan memberikan bunga mawar kepada ayahnya selama kebaktian di Gereja sebagai bentuk apresiasi kepada ayah mereka. Bunga mawar yang diberikan pun terdiri dari 2 jenis yang berbeda. Bunga mawar merah diberikan sebagai bentuk apresiasi untuk ayah mereka yang masih hidup, dan bunga mawar putih diberikan sebagai bentuk apresiasi untuk ayah mereka yang sudah tiada.

Mengapa Hari Ibu lebih Populer di Indonesia Dibandingkan Dengan Hari Ayah?
Hari Ibu dikenal juga dengan Hari Pergerakan Perempuan bagi para aktivis perempuan. Hal ini dikarenakan Hari Ibu dimaknai sebagai perjuangan perempuan atas diskriminasi dan penindasan yang terjadi selama berabad-abad. Hari Ibu juga dimaknai sebagai peringatan bersejarah atas Kongres Perempuan Indonesia, hingga pada akhirnya Hari Ibu yang diperingati pada tanggal 22 Desember ini ditetapkan sebagai Hari Nasional. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Hari Ibu memiliki pengaruh yang lebih besar ketimbang Hari Ayah.

Jika dibandingkan dengan Hari Ayah, Hari Ayah memang tidak memiliki nilai historis suatu perjuangan yang melatar belakanginya. Hal ini yang kerap kali menjadi alasan mengapa Hari Ayah berlalu begitu saja, tidak banyak orang yang tahu dan ikut merayakannya. Jika kita melihat realita yang ada di tengah masyarakat Indonesia yang masih kental akan maskulinitas beracun (toxic masculinity), Hari Ayah justru dianggap dapat merusak tatanan konstruksi sosial yang telah dibangun tentang seorang laki-laki. Hari Ayah, yang diperingati sebagai hari dimana seorang laki-laki memperoleh kesetaraan dan keadilan yang mencakup peranan dalam domestik dan pengasuhan, dianggap berbanding terbalik dengan konstruksi yang selama ini diyakini bahwa seorang laki-laki hanya bekerja di ruang publik. Sementara itu segala bentuk urusan domestik dan pengasuhan hanya dilakukan oleh perempuan.

Padahal, seorang ayah juga memegang peranan penting dalam keluarga sehingga Hari Ayah layak untuk disuarakan. Sama halnya dengan perempuan, laki-laki juga memiliki rasa kepedulian dan nilai kemanusiaan. Akibat dari adanya toxic masculinity, rasa kepedulian dan nilai kemanusiaan seolah-olah tidak boleh diperlihatkan. Tugas domestik dan pengasuhan pun dianggap sebagai hal yang dapat mengurangi wibawa jika dilakukan oleh seorang laki-laki. Padahal, peran pengasuhan ini dapat membangun kedekatan antara seorang ayah dengan anaknya sejak dini. Selain itu, keterlibatan seorang ayah dalam tumbuh kembang anak juga merupakan hal yang penting, khususnya dalam memberikan dukungan.

Perlu adanya perubahan paradigma pola pikir mengenai bagaimana mendefinisikan seorang laki-laki. Sifat maskulinitas yang dibangun seharusnya juga mendorong kearah yang lebih positif dan produktif. Selain upaya membangun kesadaran diri, sistem regulasi yang dibangun masyarakat mengenai pengasuhan yang cenderung lebih mendukung perempuan pun harus diubah. Laki-laki juga perlu dilibatkan dalam segala aspek sosial yang selama ini lebih banyak dikonstruksikan untuk perempuan, salah satunya dalan hal pengasuhan. Untuk mewujudkan hal ini, konsep maskulinitas yang positif harus terus digaungkan. Jika hal tersebut berhasil dibangun, maka Hari Ayah ataupun Hari Ibu pastinya tidak akan jauh berbeda pemaknaannya. Sudah saatnya masyarakat memahami bahwa manusia tidak hanya terbatas pada maskulinitas atau feminitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun