Perolehan Label Halal Indonesia kini telah menjadi tanggung jawab Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dibawah nauangan Kementrian Agama dan berlaku secara nasional. Sebelumnya pengeluaran label sertifikasi halal pada produk dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun kini tanggung jawab tersebut sudah di alihkan kepada BPJPH. Akan tetapi pada proses dan penetapannya tetap menjadi tanggungjawab fatwa MUI. Sehingga regulasi dalam perolehan label halal di indonesia menjadi tanggungjawab bersama.
Ketetapan mengenai perolehan label halal untuk produk kini tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU Nomor 33 Tahun 2014. “BPJPH menetapkan bentuk halal yang berlaku nasional.” Adapun dalam proses sertifikasi halal, pelatihan dan sertifikasi kompetensi auditor halal juga diperlukan sebagai upaya untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan benar-benar halal dan layak dikonsumsi sesuai dengan syariat Islam. Tentunya peran dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH menjadi sangat penting. adanya sertifikasi halal menjadikan masyarakat atau konsumen dapat dengan mudah mengetahui bahwa produk yang mereka konsumsi sudah terjamin kehalalannya. Karenanya memastikan bahwa produk yang dihasilkan benar-benar halal dan terpercaya, sertifikasi halal menjadi hal yang wajib dan tidak boleh diabaikan oleh setiap umkm.
Kendati demikian sertifikat halal di Indonesia menuai banyak pro dan kontra, lantaran terdapat beberapa kasus terkait minuman maupun makanan yang seharusnya tidak boleh mendapatkan sertifikat halal. Data sistem Sihalal menunjukkan, 61 produk dengan label "wine" telah mendapatkan sertifikat halal dari Komisi Fatwa MUI, sedangkan 53 produk lainnya diperoleh melalui Komite Fatwa. Sementara produk yang disebut "beer" 8 produk mendapatkan sertifikat halal dari MUI, dan 14 dari Komite Fatwa. Pada UU nomor 30 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di sebutkan dalam pasal 29 tata cara memperoleh sertfikat halal salah satunya nama dan jenis produk. Sedangkan nama bir dan wine merupakan produk minuman yang mengandung alkohol yang apabila di konsumsi menjadi haram bagi umat muslim.
Dari data tersebut mencerminkan fakta bahwa terdapat perbedaan pendapat antara ulama mengenai penamaan produk dalam proses sertifikasi halal. Walaupun perbedaan tersebut hanya sebatas persoalan diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama yang dilarang, tetapi produk tersebut tidak terikat dengan aspek kehalalan kandungan serta prosesnya karena telah terbukti halal.
Kepala pusat pembinaan dan pengawasan JPH, Dzikro juga menegaskan bahwa “Untuk itu, BPJPH mengajak semua pihak untuk duduk bersama, berdiskusi dan menyamakan persepsi, agar tidak timbul kegaduhan di tengah masyarakat terkait nama-nama produk. Sehingga masyarakat tidak ragu untuk mengonsumsi produk- produk bersertifikat halal karena telah terjamin kehalalannya.” Dikutip dari laman resmi BPJPH Kemenag RI, (28/11/2024).
Faktanya LPPOM melakukan penelusuran internal dimana semuanya berupa produk kosmetik, penggunaan kata “wine” berasosiasi dengan warna (bukan sensori rasa maupun aroma). Menurut Komisi Fatwa, Fatwa MUI, penggunaan kata “wine” yang menunjukkan jenis warna “wine” untuk produk non-pangan diperbolehkan. Dan Produk dengan nama “bir” hanya diperuntukan bagi produk minuman tradisional yang bukan merupakan khamr yaitu bir pletok. Komisi Fatwa MUI mempertimbangan bahwa produk tersebut adalah produk yang sudah dikenal lama di tengah masyarakat sebagai produk minuman tradisional non khamr.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin mengatakan, “Produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapat ketetapan halal sesuai mekanisme yang berlaku.” Dikutip dari laman resmi BPJPH Kemenag RI, (2/12/2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H