Kepemimpinan Vladimir Putin menjadi simbol kebangkitan Rusia dengan fokus pada ekonomi, stabilitas politik, dan kekuatan militer. Anggaran militer Rusia meningkat tajam, mencapai $82,7 miliar USD pada 2015, untuk memperkuat pengaruhnya di Eropa Timur dan Asia Tengah. Konflik Rusia-Ukraina dimulai dari peristiwa Euromaidan 2014, penggulingan Presiden Viktor Yanukovych, dan aneksasi Krimea. Putin memandang pendekatan Ukraina ke NATO sebagai ancaman, sehingga memicu operasi militer pada 2022 yang bertujuan melindungi komunitas pro-Rusia sekaligus mencegah perluasan NATO.
   Konflik Rusia-Ukraina menyebabkan ribuan korban sipil dan kerusakan fasilitas yang dilindungi hukum internasional. Data PBB mencatat lebih dari 4.226 kematian warga sipil. Rusia dituduh melakukan kejahatan perang, seperti pembunuhan, penculikan, dan kekerasan seksual, sementara Ukraina diduga menggunakan fasilitas sipil sebagai pangkalan militer. Pelanggaran ini mencerminkan kompleksitas hukum humaniter dalam konflik tersebut.
   International Criminal Court (ICC) berupaya menegakkan hukum humaniter melalui surat penangkapan terhadap Vladimir Putin atas dugaan kejahatan perang. Namun, ICC menghadapi hambatan seperti posisi Rusia sebagai anggota tetap DK PBB dan ketidakikutsertaan Rusia dalam Statuta Roma. Hambatan ini membatasi kewenangan ICC dalam mengadili kasus Rusia.
   Popularitas Putin dan kekuatan politik serta militernya menjadi tantangan besar bagi ICC. Selama lebih dari dua dekade, Putin memperkuat pengaruhnya di dalam dan luar negeri, membuat tekanan internasional, termasuk sanksi ekonomi, kurang efektif. Tanpa dukungan diplomatik yang lebih kuat, peran ICC dalam kasus ini menjadi terbatas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H