Menikah? Siapa yang tak mau.
Menikah muda? Boleh juga. Memiliki keseruan dengan si bocah disaat kita juga masih punya tenaga untuk melihat ia tumbuh dewasa.
Namun dibalik itu semua, dibalik fenomena yang lagi trend untuk menikah muda, menikah bukanlah hal yang mudah dan menjadi orang tua juga bukan hal yang gampang sama sekali.
Menjadi seorang ibu tetaplah pilihan, dan menjadi seorang ibu memang tidak bergantung pad a usia. Namun menjadi seorang ibu adalah konsekuensi seumur hidup. Dimana seoang perempuan akan menghabiskan seumur hidupnya untuk membesarkan si anak. Membesarkan memang bukan hal yang rumit ya. Toh anak akan tetap tumbuh besar dengan sendirinya seiring tahun yang berganti. Namun, mendidik itu lah yang jadi tugas pada intinya.
Anak adalah cetakan orang tua. Artinya, akan jadi seperti apa kelak si anak bergantung pada cetakannya. Dan seperti apa cetakannya bergantung pada sikap orang tuanya. Mau anak  pinter ngaji ya orang tuanya harus pinter atau setidaknya bisa ngaji. Sering liat dong gimana si anak sering jadi ‘korban’ orang tuanya? Didandani berlebihan mungkin (padahal belum usianya untuk memakai heels atau make up). Itu adalah contoh kecilnya saja yang bergantung dengan tampilan, dan belum menyangkut substansi sama sekali.
Dari hasil riset menunjukkan jika gen kecerdasan berasal dari ibu. Jadi, seorang perempuan disini dituntut untuk lebih siap. Siap hamil, siap  melahirkan, dan siap mendidik karena ibu adalah madrasah pertama seorang anak. Ibu adalah sosok pertama yang dikenal seorang anak, dan ibu pula lah idola pertama si anak. Jika sudah seperti itu, kebayang dong betapa tanggung jawab seorang ibu itu luar biasa berat namun bernilai dunia akhirat? Jika tak dibekali dengan kesiapan yang benar, identitas seorang ibu bisa tertukar atau salah kaprah. Misalnya, pemikiran bahwa ‘tugasku sudah selesai untuk melahirkannya dan mencukupinya secara fisik dan materi. Untuk urusan lain udah ada babi sitter, dan sekolah’. Nah hal inilah yang salah kaprah. Sering dong pasti liat si anak lebih dekat sama babi sitter nya atau akrab sama gurunya? Di pegang si ibu nangis, begitu dipegang sama si embak langsung diem. Keiris gak sih hati seorang ibu melihat buah hati malah memilih orang lain yang bukan siapa-siapa (dalam garis keluarga)?
Belum lagi kebiasaan baru untuk mengupload foto anak di medsos. Gak papa kalo sekedar foto, namun kalau fotonya sudah berlebihan dengan dandanan, apalagi untuk kepentingan pihak lain (endorse mungkin), apa itu masih bisa dianggap benar? Riset mengatakan jika ada seorang ibu yang kriris identitas dibalik foto anak di media sosial. Anak bukanlah dagangan, dan anak bukan untuk dipamer-pamerkan secara berlebihan. Apa yang nampak imut dimata ibu belum tentu nyaman di badan anak.
Menjadi seorang ibu memang hal yang paling luar biasa. Dimana tanggung jawab yang diemban adalah seumur hidup atau menghabiskan waktu setengah usia dari si ibu itu sendiri. Mendidik seorang anak diperlukan kematangan dari perempuan dan kesiapan lahir batin. Meningkatkan kualitas diri salah satunya. Ketika menginginkan seorang anak yg berjiwa besar, seorang ibu juga harus berjiwa besar, karena anak adalah peniru ulung. Bersikap konsisten akan sangat membantu si anak untuk mengerti itu boleh dan ini tidak boleh.
Hal lain adalah menawar diri sendiri. Betul nih udah siap jadi ibu? Betul nih udah cukup ilmunya? Betul nih udah siap diompolin sama si anak? Hal-hal yang nampak sepele itu lah yang justru jadi tantangan pertama. Karena gak semua perempuan mau berkotor-kotoran bahkan dengan anaknya sendiri.
Memang tidak perlu perfect dulu untuk menjadi seorang ibu. Namun setidaknya bekalilah diri dengan ilmu, dan senantiasa mau belajar. Beda zaman beda treatment, dan tiap tiap anak juga tak melulu dengan treatment yang sama. Jadilah ibu yang cerdas, karena perempuan adalah madrasah pertama bagi setiap anak.
*Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti. Hanya hasil perbincangan juga pengamatan dengan beberapa rekan.