Mohon tunggu...
Nabilalr
Nabilalr Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pembelajar Omnivora. Menulis sebagai tanda pernah 'ada', pernah 'merasa', dan pernah disebuah 'titik'.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teruntuk Seseorang dengan Tanya di Dadanya

27 September 2021   16:05 Diperbarui: 27 September 2021   16:17 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mengenalnya sebagai seorang teman. Sedari awal, saya tahu bahwa dia bukan dan tidak akan mungkin menjadi milik saya. Entah, saya hanya tahu tanpa ada yang memberi tahu. Saya hanya berkeyakinan seperti itu. Bahwa hubungan kami tidak akan pernah lebih dari sebatas pertemanan. Saya tahu dia punya perasaan terhadap saya. Perasaan tulus namun tidak sederhana. Perasaan yang membuat saya kalut, dan berdebar.

Sedari awal, saya mencoba menganggap dirinya adalah teman. Sebuah pilihan yang tidak dan tidak akan pernah saya sesali.  Mengenalnya dan mengantarnya hanya sampau dipintu adalah pilihan yang tepat, lalu terus melihatnya melesat dari kejauhan adalah hal yang keputusan saya. Saya mempercayai nurani saya sendiri ketika memutuskan hubungan kami cukup sampai disitu, dan tidak lebih lagi. Tidak boleh.

Bukan menafikkan rasa, hanya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan kurasa itu tepat, setidaknya sampai detik ini dititik saya menuliskan ini. tidka bahagiakah saya bersamanya? Tentu rasanya menyenangkan dan bahagia, ada seseorang yang selalu membersamai, dan selalu mengerti bahkan tanpa perlu saya ucapkan kata demi kata. Tentu rasanya melegakan ketika ada seseorang yang mampu mengerti isi hati, bahkan rasa sakit hati tanpa berlu mengeluarkan air mata. Namun, entah mengapa. Sedari awal sekali, saya tahu. Bahwa kami tidak akan beranjak dari titik itu.

Teruntuk seseorang yang sering kusebut sebagai diriku versi lelaki, isi pikiran kita, isi hati, minat, kegundahan, bahkan mungkin nasib kita serupa. Namun jalan setapak kita tidak lagi searah. Aku akan tetap mengingatmu sebagai bagian dari cerita di masa silam. Saat kita masih bercerita tentang mimpi setinggi langit, juga kata kata manis pengantar tidur. Saat kita sama sama nelangsa, sakit hati dan pengkhianatan lalu mulai berbagi nasib. Dan saat kita mulai hanyut dalam rasa, goyah, dan berada pada persimpangan jalan yang tidak main main.

Dan kini saya tahu, bahwa pilihan saya tidak salah. Melihatmu sekarang justru melegakan hati dan benak saya. Kamu adalah kamu, seseorang yang tidak perlu saya miliki, tidak perlu membersamai hidup saya. Tetaplah disitu, memandang saya dari kejauhan, dari tempatmu berdiri. Sebab itu adalah titik terbaik yang bisa kamu capai, untuk tetap melihatku tanpa perlu membersamai. Tetaplah disitu, pun saya tidak akan kemana mana. Saya, akan tetap menjadi temanmu. Teman berbagi cerita, dan penikmat karya karyamu yang tidak sederhana. Karya yang saya harap suatu saat nanti akan mampu menjadi pelipur lara, bagi kita, anak kamu, dan anak saya kelak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun