"Habis kamu dah bikin aku penasaran sih. Tanggung jawab lah." Ujar dita mencebik.
"Ta, tataran ikhlas nya tiap orang itu beda beda. Ada yang cukup pada tataran menerima nasib saja. Tapi ada juga yang memang menggali makna ikhlas itu sendiri. Ngga ada parameter bakunya kok. Hanya yang menjalani dan Tuhan saja yang tahu. Bahkan yang menjalani saja kadang ngga tau." Lanjut Deri memaparkan sambil menatap Dita lekat lekat.
"Tapi biar sadar kalo udah ikhlas nya gimana Der?" timpal Dita spontan, di sela sela kebisingan jalanan pukul 7. Deri nampak diam sejenak, sebelum melanjutkan.
"Ngga ada, Ta. Kamu akan sadar ya saat kamu sadar." Jawab Deri santai. Sambil menelanjangi jalanan yang semakin padat.
"Kayak roti bakar yang masuk ke perut, lalu keluar lagi dalam bentuk yang lain gitu ya. Kita ngga ngerasain kehilangan, ngga ngerasain apa apa. Menerima saja. Dan biasa aja karena memang harus begitu." Â Ulang Dita mengonfirmasi sambil mengerjap-ngerjap kan matanya.
"Emang udah ngerti beneran?" Balas Deri bercanda yang diikuti dengan tawa.
"Apaan sih Der. Iya deh, abdi emang ngga sepinter situ. Ngga sedalem itu mikirnya."
"Bercanda kali, gitu doang ngembeg ih. "
"Tapi aku jadi ngerti sih Der sama idiom ini. Ikhlas itu ngga terucapkan. Karena kalo masih bisa terucap, berarti masih belum ikhlas. Der, kamu tambah cakep deh." Lanjut Dita sambil memberikan applause sebagai bentuk penghormatan.
"Giliran kamu yang apaan sih Ta. Dan ntar ya kalo dah kayak roti bakar, kamu bakalan dapat pita kayak di gerobag itu." Deri menimpali sambil menunjuk jejeran pita dalam etalase gerobag roti bakar. Sementara Dita justru menunjukkan wajah kebingungan dan bertanya tanya. Belum sempat ia bertanya, Deri melanjutkan kalimatnya.
"Ada hikmahnya, Ta. Pasti. Ada sweetner nya, pasti. Tuhan ngga pernah salah bikin perencanaan dan eksekusi." Deri menjelaskan, lalu mengambil dompet dalam tasnya untuk membayar lima bungkus roti bakar yang mereka beli.