Mohon tunggu...
Nabila Kharisma Zahiya Insani
Nabila Kharisma Zahiya Insani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswa Hubungan Internasional UMM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Budaya (La Sape: Rela Lapar Demi Gaya)

5 Januari 2023   05:05 Diperbarui: 26 Agustus 2023   15:33 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

La Sape, singkatan dari kalimat Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes dan mengisyaratkan untuk Prancis kata gaul sape yang berarti (Pakaian), yakni sebuah subkultur yang berpusat pada kota-kota Kinshasa dan Brazzaville di Republik Demokratik Kongo dan Republik Kongo. Negara-negara Afrika, terutama yang berada di kawasan Afrika Tengah seperti Republik Afrika Tengah, Kongo, dan Republik Demokratik Kongo, sering dikaitkan dengan kemiskinan.

Fakta bahwa mereka adalah negara dengan segudang kekayaan seakan tertutupi oleh isu korupsi dan pertikaian sipil. Saat mengunjungi Kongo, jangan kaget jika kalian melihat beberapa penduduk setempat mengenakan pakaian mahal, mewah, dan modis di antara mereka yang kurang beruntung. Orang-orang yang berpakaian elegan menonjol dari keramaian dengan mengenakan pakaian dengan corak cerah dan potongan yang pas. Mereka bukanlah orang-orang kaya yang bisa disebut sebagai Crazy Rich Africans. Mereka adalah Sapeurs, tapi mereka juga bukan model kelas atas dengan gaji yang luar biasa.

Data yang di peroleh pada tahun 2018, diperkirakan 73 % dari populasi Kongo, setara dengan 60 juta orang dari 86 juta jiwa, hidup dengan kurang dari USD 1,90 per hari atau setara dengan Rp27.000 yang termasuk dalam tingkat kemiskinan internasional. Dilansir dari laman Kedutaan Besar Republik Indonesia di Nairobi, Kenya, perkembangan ekonomi Republik Demokratik Kongo (RDK) terbilang cukup lambat. Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi RDK hanya mencapai 4,3 %. Dibalik perkembangan ekonomi Kongo yang terus memburuk terdapat trend fashion yang diikuti oleh sebagian besar masyarakat dan menjadikan fenomena tersebut viral karena mirisnya trend fashion mewah tersebut dilakukan saat mayoritas masyarakat Kongo dalam keadaan kondisi kekurangan gizi dan   kemiskinan yang buruk.

La Sape, subkultur dan gaya hidup Afrika yang viral di media sosial, diikuti para penggila fashion yang siap hidup miskin asalkan bisa tampil gaya. Menurut laporan dari Al Jazeera, sejarah La Sape diperkirakan dimulai pada awal abad ke-20, pada masa kolonial Belgia-Prancis, ketika para budak dari Kongo bekerja untuk pakaian bekas. Tariq Zaidi, penulis buku Sapeurs: Ladies and Gentlemen of the Congo, mengklaim bahwa seorang Sapeur siap menabung bertahun-tahun untuk mengumpulkan hingga USD 2.000, atau sekitar Rp 28 juta, yang kemudian digunakan untuk membeli setelan modis hasil kreasinya. Seorang desainer ternama. Anggota La Sape tidak mau menggunakan barang palsu. Mereka secara bertahap mengumpulkan tabungan mereka dengan upah rata-rata sampai mereka memiliki cukup uang untuk membeli pakaian yang mereka inginkan. “Mereka lebih suka menabung untuk rumah, mobil, atau sepeda motor daripada membelanjakan uang untuk blus,” kata Zaidi dalam wawancara dengan Vogue Skandinavia.

Prioritas mereka bukan kestabilan ekonomi, tapi tampil trendi, dan kalau bisa menjadi trend-setter di komunitasnya. Para Sapeurs juga sering bertukar pakaian, kalau ada satu orang memiliki dasi Chanel dan yang lain kemeja Dior, mereka dapat bertukar atau meminjam pakaian satu sama lain secara gratis. La Sape menjadi gerakan yang terus berkembang, di mana para kaum muda menggunakan fashion sebagai cara untuk menavigasi perjalanan bangsa mereka, dari negara berkembang menjadi negara kosmopolitan yang penuh harapan di masa depan. Meskipun budaya La Sape secara tradisional diturunkan melalui garis laki-laki, namun banyak wanita Kongo baru-baru ini mulai mengenakan setelan desainer dan menjadi Sapeus. Apa motivasi di balik gaya hidup seperti ini? Menurut Zaidi, La Sape sudah dianggap seperti (agama) oleh banyak pengikutnya. Mereka tidak perlu memiliki motivasi khusus untuk menjadi Sapeur atau Sapeus. Namun, saat ini La Sape adalah ideologi gerakan tentang menjadi bahagia dan elegan, bahkan jika orang itu sebenarnya sedang kekurangan makan, La Sape hanyalah tentang kebersihan: “saya merasa nyaman dengan setelan Ozwald Boateng, jadi saya memakainya,” kata Aime Champaigne, salah satu pengikut Gerakan La Sape.

Di sisi lain, masyarakat Kongo yang tidak percaya La Sape melihat gerakan tersebut sebagai obsesi yang membuat mereka ketagihan dan tidak bisa berhenti meski merasa itu salah. La Sape sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat Kongo, yang rela miskin, bahkan mati hanya untuk mengenakan busana mahal dan gaya hidup mewah. Malnutrisi, kemiskinan internasional, konflik politik dan pembangunan ekonomi yang lamban, banyak yang memanfaatkan masalah yang ada, membuat fenomena La Sape menjadi viral. Seharusnya La Sape tidak digunakan untuk mengangkat harga diri diatas penderitaan masyarakat, solusi serta perubahan terbesar terjadi jika dilakukan oleh masyarakat Kongo dengan dukungan pemerintah agar lebih fokus untuk membantu memulihkan kemiskinan di tingkat internasional, karena ini benar-benar akan mengangkat rakyat Kongo dari kemiskinan dan segala masalahnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun