Budaya Indonesia mengalami kemerosotan seiring pesatnya perkembangan budaya luar yang awalnya berkiblat ke barat sekarang berpaling pada selatan, mulai dari musik hingga drama Korea membuat posisi budaya lokal menjadi tergeser bahkan kehilangan identitasnya.
Sijobang, sastra lisan dari Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota kewalahan karena kehilangan penerus. Kesenian yang diiringi dengan kotak korek api atau pun kecapi ini menjadi langka seiring perkembangan zaman.
Datuak Kodo adalah salah satu pencerita sijobang yang cukup terkenal, beralamat di Nagari Simpang Sugiran, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Beliau mengalami keresahan karena tidak ada lagi minat dari generasi millenial untuk mempelajari seni ini, yang akan mencapai suatu titik di mana punahnya tradisi Sijobang.
Sijobang sendiri berasal dari kata Jobang, dalam dialek Minang di Kabupaten Lima Puluh Kota. Datuak Kodo merupakan tukang Sijobang dengan alat musik pengiring berupa korek api yaitu dengan memukulkannya ke lantai hingga menimbulkan irama-irama yang mengikuti tempo si penampil. Alat musik ini tentunya sangat unik, selain mengatur tempo juga sebagai pengingat rangkaian cerita yang akan disampaikan selanjutnya.
Cerita Sijobang bersumber dari kaba Aggun Nan Tongga. Dari segi bahasa yang digunakan, dalam Sijobang banyak terdapat kata-kata masa lampau yang sudah jarang diparaktikkan di masa sekarang. Perlu bantuan pemandu dalam menafsirkannya. Meskipun begitu, kita masih bisa menikmatinya karena kelihaian penampil dalam membawakan.
Selanjutnya, ada pak Radius, beliau adalah tukang Sijobang satu-satunya dengan musik pengiring berupa kecapi. Alat musik kecapi yang beliau gunakan terbuat dari bahan kayu yang kering agar lebih tahan lama dan bunyi yang dihasilkan pun bagus.
Pak Radius mengakui bahwa beliau Basijobang semenjak tahun 1979. Pada saat belajar, gurunya memiliki murid yang banyak, tetapi yang belajar secara langsung hanya 3 orang. Yang  pertama, Samsur di Padang Balimbiang, sudah meninggal, yang kedua adalah Anas, dan beliau sendiri.
Cara belajarnya pun cukup unik dengan mengikuti gurunya ke mana pun pergi, dalam keadaan itu beliau menyimak cerita dari gurunya karena belajar Sijobang tidak dapat dibukukan. Diperlukan kefokusan agar tidak ada bagian cerita yang tertinggal dan itu harus diulang-ulang.
Sijobang ini kerap kali ditampilkan dalam kegiatan adat, sunat rosul, pesta perkawinan, acara batagak panghulu, akikahan, atau pun acara khitanan.
Sebagai media silaturrahmi masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota, Sijobang masih dipertunjukkan sampai sekarang, ada penikmatnya meskipun tukang Sijobang ini sudah sangat terbatas. Seperti yang kita ketahui, tradisi yang punah disebabkan oleh tidak adanya ruang untuk menampilkan dan mengembangkan seni. Untuk itu, bagi khaula muda hendaknya ikut menyadari dan perpartisipasi memberikan ruang khusus bagi sastra, dengan mengadakan pentas seni atau kegiatan-kegiatan tradisional agar kesenian itu tidak serta merta hilang.
Tradisi-tradisi ini harus menjadi perhatian masyarakat, bagaimana terus berlanjut dan tidak berhenti di situ saja. Dari tukang Sijobang sendiri sangat terbuka bagi siapa saja yang mau mempelajari Sijobang.