Mohon tunggu...
Nabila Kamaliya
Nabila Kamaliya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi serta saya mampu beradaptasi dengan baik dilingkungan yang baru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kehidupan Pengemis Dalam Konsep Teori Dramaturgi

2 Desember 2023   04:27 Diperbarui: 2 Desember 2023   04:59 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang berusaha untuk menafkahi keluarganya dengan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Upaya mengatasi masalah keluarga tidak terlepas dari hambatan dan kesulitan yang harus di hadapi dan dirasakan oleh setiap orang misalnya, persaing kerja, kendala yang nyata, keterbatasan kemampuan & ekonomi keluarga tidak berdaya sehingga mereka akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya mengingat keadaan kondisi mereka seperti kemiskinan.

Pengemis adalah pekerjaan bagi orang yang malas dalam mencari pekerjaan dan ingin mendapatkan uang secara mudah dengan mengorbankan harga dirinya.[1] Biasanya Pengemis berpakaian tidak layak sambil meminta-minta bermohon kepada orang lain untuk menimbulkan rasa kasian dalam menyumbangkan sedekah kepadanya.

Teori Dramaturgi dikemukankan oleh Ervin Goffman (Goodman 2010), kehidupan sosial dengan beberapa panggung sandiwara dengan simbol-simbol yang ditampilkan untuk pendukung identitas yang akan ditampilkan atau yang akan disembunyikan melalui panggung pertunjukan.[2] Teori Dramaturgi menekankan peran penting dalam individu untuk membangun "panggung" sosial dan bagaimana mengelola kesan terhadap para penonton yang ada dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Pengemis dalam konteks Dramaturgi bisa dilihat sebagai actor yang berpartisipasi dalam pertunjukan sosial yang dipanggung kehidupan kota. Mereka berperan dalam situasi dimana mereka berinteraksi dengan berbagai penonton, pengemis berusaha mempengaruhi persepsi orang lain terhadap mereka untuk mendapatkan dukungan dalam bentuk uang, makanan, dan juga perhatian.

Peran pengemis dari panggung depan menampilkan ekspresi muka lemah, pasrah dan tidak berdaya, pakaian yang sobek-sobek, lusut dan tidak berwarna. Properti yang digunakan seperti membawa tempat duduk khusus, memakai tongkat, memakai kacamata seolah-olah menjadi buta semua itu dilakukan oleh pengemis agar masyarakat percaya dan dapat memberikan imbalan atas pementasan pengemis tersebut. Maka dari itu, dengan mengekpresikan itu pengemis yakin bahwa masyarakat percaya hingga tidak ditemukan kepalsuan dalam pertunjukan.

Peran pengemis dalam panggung belakang mencegah masyarakat masuk pada kehidupan yang sebenarnya seperti menyembunyikan kesenangannya dan menutupi kehidupan pribadinya. Pengemis berusaha menerima semua ejekan dan celaan masyarakat. Mereka menurunkan standar sesuai dengan kajian Goffman yang menyatakan bahwa actor perlu menyembunyikan cernaan, hinaan atau perbuatan yang dilakukan oleh adien agar pertunjukan berjalan dengan lancar.[3]

Secara keseluruhan, kesempurnaan pekerjaan seorang pengemis disesuaikan dengan penanganan kesan yang tepat. Hal ini ditandai dengan adanya rasa simpati dari masyarakat yang memberikan uangnya atas pekerjaan yang ditunjukkan oleh pengemis tersebut. Peran dimainkan untuk mengendalikan kesan yang dibentuk untuk mempercayai bahwa karakter yang dimainkan adalah sebenar-benar dirinya.

 

catatan kaki:

[1] Abyyu, Moh Mahdy, Yunitasari Anggraeny, and Velysa Novita Hariyanto. "Dramaturgi Kehidupan Pengemis Alun-Alun Kabupaten Jember." Jurnal Sosial Humaniora dan Pendidikan 2.2 (2023): 144-153. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun