Indonesia memiliki keberagaman suku, salah satunya yaitu suku Madura yang berada di kepulauan Madura. Masyarakat Madura lebih identic dengan karakteristik yang kasar dan keras. Kekerasan atau tradisi carok barangkali merupakan hal yang paling sering diidentikkan dengan masyarakat Madura. Carok merupakan tindakan perkelahian dengan menggunakan sentaja tajam berbentuk celurit yang melengkung dan tajam dibagian ujungnya. Karena sangat identiknya Madura dengan carok dan nilai-nilai kekerasan, hal-hal lain tentang Madura menjadi tidak banyak diketahui termasuk tentang perempuan Madura yang ditengarai tidak jarang menjadi sebab terjadinya praktik carok, persoalan tahta, harta (utamanya tanah dan ternak) dan wanita hingga hari ini masih dipercaya sebagai sebab paling umum yang mengawali terjadinya carok. Pada kali ini, yang akan di bahas lebih lanjut yaitu bagaimana perspektif masyarakat luar Madura terhadap perjodohan dalam perkawinan masyarakat Madura.
Dimana-mana dalam perjodohan perempuan umumnya “diharuskan” menerima menjalani sekaligus melestarikan berbagai tradisi yang telah mengakar di masyarakat. Banyak orang dari luar pulau Madura menduga bahwa masyarakat Madura mayoritas memakai tradisi perjodohan dalam perkawinan anaknya, padahal tidak semua masyarakat Madura menerapkan perjodohan dalam perkawinan anaknya. Secara garis besar, di daerah pedesaan pernikahan dilakukan atas perjodohan atau bahasa maduranya disebut dengan (abhekalan) disebabkan oleh masyarakat yang sama-sama memiliki kecenderungan yang sama. Yakni, sama-sama memiliki kekhawatiran dan sama-sama ingin melindungi anak dan keluarga, baik yang muncul dari faktor nasabiyah atau kekerabatan, faktor kekhawatiran akan pergaulan negatif, faktor kekhawatiran tidak mendapatkan jodoh, faktor kepemilikan, factor lingkungan didaerah, dan juga factor Kekhawatiran seorang perempuan akan menjadi perawan tua dan ta’paju lake (tidak ada lelaki yang melamar atau mau menikahi).
Faktor-faktor di atas memiliki tujuan di antaranya adalah: pertama, agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin, tidak putus dan tidak jauh, serta harta yang dimiliki keluarga tidak jatuh kepada orang lain; kedua, agar anak ada yang memantau sehingga tidak terjerumus kepada pergaulan negatif; ketiga, agar anak terikat dan masyarakat lain mengetahui bahwa anak tersebut sudah memiliki pasangan (jodoh) sehingga nantinya dapat mencegah orang lain mengganggu atau mendekatinya.
Demikian, berbeda perspektif dengan masyarakat Madura di daerah perkotaan dan juga masyarakat yang golongan atas. Mereka tentunya tidak akan mau jika dijodohkan karena menurut pandangan mereka “perjodohan adalah hal yang kuno, tidak mengikuti tren modern saat ini dan tidak akan cocok dengan pasangan yang akan di jodohkan.” Menurut mereka juga “memilih pasangan sendiri adalah hal yang sangat mudah dan akan cocok dengan pilihannya sendiri.”
Tapi seiring berkembangnya zaman ini, pola perspektif masyarakat tentunya juga mengalami perubahan secara perlahan dan bertahap. Ketika disini biasanya perempuan diposisikan sebagai pihak dimana ia seolah tidak dapat memutuskan pilihannya termasuk dalam hal memilih pasangan, maka disini dengan adanya perubahan pola pikir yang didukung oleh keterjangkauan pengetahuan, maka perempuan dapat semakin mengerti apa yang seharusnya menjadi haknya tak terkecuali lingkungan masyarakat sendiri. Ketika dulu memang suatu budaya menjadi patokan, maka seiring waktu berjalan masyarakat mulai sadar dan menyerahkan keputusan tentang masa depan pada anaknya sendiri. Bisa dilihat atau ditinjau dalam fenomena sehari-hari ketika pada dasarnya, suatu pernikahan dapat terjadi ketika sudah muncul kehendak sendiri dari pihak anak untuk kemudian diikuti pertimbangan keputusan dari orang tua, tidak ada permaksaan yang sebaliknya, ketika orang tua yang memilih calon, sedangkan dari pihak anak tidak dapat berkutik.
Keunikan-keunikan dalam berbagai pandangan hingga kebiasaan masyarakat Madura dalam dua hal tersebut tidak hanya bertalian dengan sikap keagamaan mereka sebagai masyarakat yang relijius, akan tetapi juga dipengaruhi oleh kemauan menjaga bahkan mengangat derajat sosial dan ekonomi. Seperti halnya kearifan-kearifan lokal di daerah lain, hal-hal tersebut tidak dapat dilihat dari kacamata benar-salah, sebab kearifan yang demikian— dengan berbagai modifikasi dan evolusi—tetap tumbuh subur dari berbagai generasi ke generasi selanjutnya dan semakin memiliki nilai legitimasi bagaimanapun bentuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H