Alkisah bermula ketika adik sepupu saya menerima sebuah pesan singkat kemarin sore, yang bunyinya..
“Diharapkan kehadirannya pada pertemuan rutin karang taruna XXX, jam 19.30 di rumah bapak Pembina, penting!”
Si adik sepupu pun memanggil adik saya.
“Mas, ayo meh teko ora?”
“Heleh, males.”
“Awake dewe kan rung tau teko karang taruna, ayo coba mangkat.”
“Yo wis.”
--
Kali inilah pertama kalinya adik laki-laki saya yang masih kelas 3 SMA dan si adik sepupu yang kelas 1 SMA datang ke pertemuan bulanan karang taruna di kampung kami. Ya, pertama kali. Pasalnya, beberapa kali didatangi dan diajak oleh pengurus karang taruna, kedua anak itu tak pernah memenuhi undangan. Mungkin, sedikit banyak adalah dosa saya yang tidak memberi contoh baik pada mereka.
Cerita bermula ketika beberapa tahun lalu ketika pindah ke rumah yang sekarang saya tempati, dua orang anggota karang taruna pernah mendatangi saya dan mengajak untuk bergabung. Sayangnya, setelah beberapa menit ngobrol blah bleh bloh, saya kurang respect sehingga malas bergabung dan lebih memilih menghabiskan malam minggu bersama teman-teman sekolah (ketika itu) daripada harus datang ke pertemuan rutin karang taruna di kampung.
Alasannya simple saja, saya tidak menemukan bahwa karang taruna di kampung saya cukup bermanfaat untuk diikuti. Pernah pada suatu malam tirakatan (17 Agustus) beberapa tahun lalu saya terjebak dikumpulan muda-mudi yang sibuk cari jodoh dan menyetel lagu Kangen Band dari ponsel yang sengaja di loud speaker di tengah acara malam 17-an yang tengah berlangsung. Bahkan, beberapa gelintir cabe-cabean terlihat sibuk bisik-bisik sambil menyebut-nyebut nama saya. Hah!
Jadi, apa saya harus mengulang kesalahan yang sama dengan menghabiskan malam minggu bersama mereka? Jawabannya tidak.
--
Tepat pukul 21.30 ketika saya sedang bikin mie rebus, si adik laki-laki terdengar membuka pintu.
“Wah, gimana acaranya?”
“Ah, biasa saja. Konyol malah.”
“Lhoh, kok bisa?”
“Tadi itu, si ketuanya cuma perlu menyampaikan dan melaporkan kalau proposal yang diajukan pada Caleg X sudah di acc, dana turun 5 juta, rencana mau dibuatkan seragam karang taruna, dibelikan light stick, HT, dan lain-lain. Terus sisa uangnya rencana dipake makan-makan bulan depan.
“Hahaha, nggak ada isu yang lebih penting?”
“Nggak, ditambahkan juga kita disuruh nyoblos Caleg yang namanya Pak X itu.”
“Wah, gimana tuh si ketua ngomongnya?”
“Gini nih. “Ya, proposal dari kita sudah di acc, dana juga sudah turun 5 juta, nanti rencananya untuk perlengkapan karang taruna. Nah, sebagai orang yang baik tentu harus timbal balik ya. Jadi, diharapkan teman-teman bisa mencoblos Pak X. Ya, bukan paksaan sih, tapi sebagai orang yang baik sebaiknya ya ada timbal balik.”
“Hahaha, terus apa lagi?
“Oh iya, bapak dewan pembinanya juga bilang, kalau untuk muda mudi karang taruna jatahnya nyoblos Pak X, kalau bapak-bapak dan ibu-ibu nanti beda lagi, jatahnya Pak Y.”
“Ahahahay.”
--
Mungkin semboyan ‘ambil uangnya nggak usah dicoblos orangnya’ bisa dipahami sebagian orang. Sayangnya, bukan tidak mungkin sebagian lainnya yang datang di pertemuan kemarin malam akan dengan polos serta tulus ikhlas mencoblos si Caleg X.
Lalu, salah siapa? Jelas, pihak karang taruna. Untuk apa mengajukan proposal ke Caleg, bukannya sama saja menjual suara? Ingat, semakin banyak yang mereka keluarkan saat kampanye, maka semakin banyak pula uang negara yang akan mereka curi ketika nanti sudah duduk di ‘kursi’. Mari menjadi pemilih muda yang cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H