Di suatu sore yang basah, sepulang kerja, antara Mawar, Melati, dan Kumbang. Mawar dan Kumbang adalah sepasang mantan kekasih yang kembali bertemu dan bernostalgia, ahahay!
Entah bagaimana awal mulanya, tiba-tiba Kumbang mempertanyakan pentingnya pendidikan.
“Halah, buat apa sekolah tinggi-tinggi, asal bisa baca tulis, matematika sederhana, itung-itungan sudah cukup. Apalagi buat yang minat jadi wirausahawan, yang nggak mau kerja ikut orang, nggak usah buang-buang waktu sekolah. Bahkan, merintis usaha di usia sekitar seperempat abad ini aja sepertinya terlambat.”
Mawar dan Melati yang duduk saling berhadapan langsung saling pandang, seperti sama-sama sedang berkata dalam hati.
“Hell to the lo! Pendidikan nggak penting?? Yang bener donk, men!
Mawar sudah tak sabar, langsung cepat-cepat berpendapat.
“No. Pendidikan penting buat siapapun, laki-laki perempuan sama saja. Pendidikan model apa saja, apalagi pendidikan formal di universitas, sampai kapanpun jelas bermanfaat. Nggak ada yang sia-sia apalagi kalau orang tua atau kita sendiri bisa mengusahakan biayanya.”
Melati pun nggak mau ketinggalan.
“Perempuan, apapun modelnya, hakikatnya ya jadi ibu rumah tangga, mengurus, mendidik anak-anaknya. Ini tugas super duper mulia lho. Tapi, justru tugas-tugas ini yang juga perlu modal pendidikan tinggi, nggak asal bisa masak, ganti popok, sama bersih-bersih rumah, men. Perlu juga ngajarin Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia yang baik dan benar (jangan sampai anak kita jadi alay), ngajarin make Laptop terus nulis di Kompasiana, ngasih tau mana acara TV yang layak tonton sama enggak, banyak, men!”
Si Mawar lagi.
“Nah lho. Bener banget. Sekarang saja dunia sudah sedemikian maju, teknologi, dunia digital, budaya virtual. Bisa bayangin nggak ketika kita punya anak nanti dunia sudah seperti apa? Sekarang saja aku susah kalau harus ngobrol soal akademis, sistem pendidikan kampus, atau teknologi baru sama papah mamah. Secara papah mamahku lulusan Sekolah Menengah. Sekalipun papah wiraswasta sukses tapi tetep ada yang kurang. Aku harus berpikir mencari bahasa yang paling mudah dan bisa ditangkap sama mereka kalau ngomong sama mereka. Padahal, papah mamahku rajin nonton TV sama baca koran lho.”
Si Melati lagi.
“Yup, setuju. Kasusku sama kayak Mawar. Banyak hal yang nggak bisa di obrolin sama bapak ibu di rumah karena keterbatasan pengetahuan mereka. Kalau kaitanya sama masalah sehari-hari, kehidupan dan norma sosial bisa lah ya. Tapi kita kan nggak bisa ngomongin politik, dunia kampus, atau masalah kerjaan ke mereka. Coba bandingkan sama Matahari yang ayah ibunya kebetulan dosen. Si Matahari aja bisa konsultasi skripsi sama ayahnya, bisa ngobrol soal kampus, kuliah di luar negeri, politik, atau hal-hal lain. Lebih banyak topik yang bisa di bawa ke meja makan atau ruang keluarga, men.”
Giliran Si Kumbang ngomong setengah curhat.
“Dunia kejam memang. Bagaimana perasaanmu ketika lapangan pekerjaan untuk perempuan justru lebih banyak daripada laki-laki. Laki-laki sarjana belum juga dapat kerja sedangkan perempuan lulus SMA bisa jadi Customer Service dengan gaji lebih dari 2 juta di Kota kecil ini. Ya, hal-hal kayak gini yang menggeser pakem. Harusnya laki-laki yang mengghidupi. Tapi, realita membuat laki-laki menyerah dan menerima saja kalau memang gajinya lebih kecil atau bahkan nggak bisa menghidupi perempuan atau keluarganya dan sekedar jadi bapak rumah tangga.”
Melati lagi.
“Wesssss, sadis! Ada dampak lain juga lho, ketika kaum laki-laki malah jadi makin pragmatis. Misalnya, ketika lajang, laki-laki dan perempuan sama-sama kerja kantoran. Setelah menikah dan melahirkan, perempuan memilih resign dan mengurus anak di rumah. Eh tapi, si suami nggak setuju, katanya sayang sama pekerjaan, lumayan kalau istri kerja bisa buat tambah-tambah (padahal gaji dia juga udah ada). Kalau soal anak gampanglah bisa dititipin orang tua, mertua, atau malah pengasuh. Nggak papa bayar pengasuh, gaji istri buat bayar pengasuh masih ada sisanya kok, lumayan. Lupa aja gitu soal tumbuh kembang anaknya. Apa anaknya diasuh dengan benar ya nggak jadi pertimbangan.
Si Mawar ngomong lagi.
“Hahaha. Sebenarnya kalau buat Kumbang, nggak usah repot kalau nggak dapet kerja kantoran. Fokus saja sama usahanya. Yang jelas, mau dia kerja kantoran atau jadi wirausaha pun, ilmu dari kampusnya kan tetep kepake. Mungkin aja kamu nggak bisa punya ide usaha kreatif seperti sekarang kalau nggak melewati masa-masa belajar di kampus. Tapi kalau kasus yang diomongin Melati sih sebenarnya banyak jalan keluar. Kalau memang suami sudah kerja kantoran, ya si istri wirausaha saja biar bisa sambil urus anak, ya walaupun mungkin penghasilan nggak sebesar gaji di kantor. Atau si istri cari kerja yang waktu kerjanya bisa fleksible atau sekalian saja kerja yang boleh sambil bawa anak. Hahaha. Ya kalau dua-duanya ngantor terus alasannya duit duit duit ya kacau.”
“Wah, aku jadi inget gimana waktu masih pacaran dan sama-sama kuliah dulu sering jahat sama Kumbang.”
“Heu, jahat gimana, war?” tanya Melati.
“Heh, kamu mau jadi apa sih, kuliah kemana tapi hobi kemana nggak nyambung. Emang dengan hobi kamu itu ilmu di kampus bisa kepake? Nggak kan? Nanti kamu mau kerja apa coba?” kata Mawar.
Kumbang sambil nyengir-nyengir.
“Iya ya, jadi inget dulu. Tapi gak papa, war. Karena dulu kamu sering ngomong gitu sama aku, sekarang aku semangat jalanin usaha seperti sekarang. Makasih ya, war.”
Cieee… cieee… CLMBK (Cinta Lama MUNGKIN Bersemi Kembali)!
*berdasar kisah nyata dengan sedikit dramatisasi. Hahaha.
Bersambung…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H