BPJS Kesehatan, program jaminan kesehatan terbesar di Indonesia, kini berada di persimpangan jalan. Dengan cakupan lebih dari 95,75% populasi, atau sekitar 267 juta jiwa, program ini menjadi tulang punggung layanan kesehatan nasional.Â
Namun, ancaman defisit yang diperkirakan mencapai Rp20 triliun pada 2024 dan rencana pemerintah untuk menghapus kelas layanan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) memicu perdebatan luas. Akankah BPJS Kesehatan mampu bertahan menghadapi tantangan ini?
Realita di Balik Angka
Hingga 2023, rata-rata 1,7 juta layanan kesehatan disediakan BPJS Kesehatan setiap harinya, dengan total pemanfaatan layanan mencapai 606,7 juta kasus setahun. Angka ini meningkat drastis dari hanya 92,3 juta kasus pada tahun 2014.
Namun, tingginya pemanfaatan ini menimbulkan beban besar pada keuangan BPJS, terutama untuk penyakit berbiaya tinggi seperti kanker, jantung, dan gagal ginjal. Data menunjukkan bahwa pada 2023, 29,7 juta kasus penyakit katastropik menyedot biaya hingga Rp34,7 triliun atau sekitar 25% dari total anggaran layanan tingkat lanjutan (Antara News, 2024).
Defisit ini juga diperparah oleh sekitar 53 juta peserta yang tidak aktif membayar iuran. Ketidakaktifan peserta ini berdampak langsung pada arus kas BPJS. Sementara itu, iuran belum pernah disesuaikan sejak 2020 meskipun biaya terus meningkat. Besaran iuran saat ini adalah Rp150.000 untuk kelas 1, Rp100.000 untuk kelas 2, dan Rp35.000 (setelah subsidi pemerintah) untuk kelas 3 (CNBC Indonesia, 2024).
Rencana Penghapusan Kelas
Salah satu langkah besar yang sedang direncanakan adalah penghapusan kelas layanan (kelas 1, 2, dan 3) menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kesetaraan layanan kesehatan tanpa memandang tingkat ekonomi peserta. Namun, implementasi KRIS yang ditargetkan selesai pada Juni 2025 memicu kekhawatiran di masyarakat.
"Kesetaraan layanan memang tujuan yang baik, tetapi bagaimana dengan kesiapan fasilitas kesehatan kita? Rumah sakit harus beradaptasi dengan standar baru, sementara infrastruktur saat ini masih banyak yang terbatas," ungkap Dr. Andi Setiawan, seorang pakar ekonomi kesehatan dari Universitas Indonesia.