rukyatul hilal dan hisab dalam menentukan awal Ramadan tetap menjadi fokus perhatian masyarakat. Di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, perbedaan pendapat ini seringkali menimbulkan ketegangan, bahkan sejak dulu kala. Sementara beberapa memilih untuk tetap mempertahankan tradisi rukyatul hilal, yang mengandalkan pengamatan langsung bulan sabit oleh ulama, yang lainnya condong kepada hisab, yakni penghitungan astronomi untuk menentukan awal bulan Ramadan. Dalam menjalankan ibadah puasa, tentu saja menentukan awal Ramadan adalah langkah krusial. Namun, antara kedua metode ini, manakah yang lebih utama?
Di tengah pergulatan antara tradisi dan teknologi, perdebatan antara metodeRukyatul Hilal, metode ini mendasarkan penentuan awal Ramadan pada pengamatan langsung oleh manusia terhadap hilal atau bulan sabit di langit setelah terbenamnya matahari pada akhir bulan Sya'ban. Ulama dan pengamat langit melakukan pencarian hilal di langit pada malam tertentu sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
Metode hisab menggunakan perhitungan matematis berdasarkan gerak bulan dan matahari. Ini mencakup parameter-parameter seperti posisi bulan, rotasi bumi, dan parameter astronomi lainnya untuk memprediksi posisi bulan pada suatu waktu dan tempat tertentu. Meskipun menggunakan ilmu pengetahuan modern, hisab ini tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip Islam dalam penghitungannya.
Pendukung rukyatul hilal menegaskan bahwa metode ini memiliki dasar yang kuat dalam tradisi Islam dan menekankan pentingnya keberadaan manusia dalam menentukan awal Ramadan. Mereka berpendapat bahwa pengamatan langsung memperkuat ikatan dengan alam semesta dan memelihara spiritualitas dalam menentukan awal ibadah puasa yang sakral.
Sementara itu, pendukung hisab berpendapat bahwa dengan teknologi modern, kemampuan kita untuk memprediksi posisi bulan menjadi semakin tepat dan akurat. Mereka berargumen bahwa hisab menawarkan konsistensi dan ketepatan waktu dalam menentukan awal Ramadan, menghindari keraguan dan perbedaan pendapat yang mungkin muncul dalam pengamatan rukyatul hilal.
Menurut gus baha dalam salah satu taushiyahnya menuturkan bahwa rukyatul hilal dan hisab itu bukan tentang organisasi masyarakat. Pada zaman dahulu Imam Zuhdi lebih percaya hisab daripada rukyatul hilal, sedangkan imam yang lain lebih percaya rukyatul hilal daripada hisab. Namun sekarang kita terjebak dalam politik identitas atau identitas organisasi masyarakat. Padahal jelas bahwa hisab adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah SWT. Bahkan salah satu ulama yang ahli di bidang ilmu falak adalah KH Turaichan Ajhuri seorang ulama dari kalangan NU.
Almarhum KH Sya'roni Ahmadi salah satu ulama besar dari Kabupaten Kudus semasa hidup beliau pernah ditanyai lebih utama mana antara rukyatul hilal dan hisab, beliau menuturkan bahwa lebih baik untuk mengikuti pemerintah. Pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin dan sangat hati-hati dalam menentukan awal Ramadhan dengan melakukan rukyatul hilal dan siding isbat.
Oleh karena itu, rukyatul hilal dan hisab, bukan perkara mana yang lebih utama. Karena keduanya merupakan ilmu yang ditinggalkan oleh Rasulullah dalam menentukan awal Ramadhan. Antara rukyatul hilal dan hisab yang digunakan untuk menentukan awal Ramadan adalah refleksi dari keragaman pendekatan dalam Islam.Â
Sementara beberapa komunitas Islam lebih condong kepada Rukyatul Hilal karena menghormati tradisi melihat hilal secara langsung yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yang lain memilih Hisab karena dianggap lebih akurat dan praktis. Penting bagi umat Islam untuk menghormati perbedaan pendapat dan bekerja menuju pemahaman bersama yang mempromosikan persatuan dan keadilan. Dalam menjawab pertanyaan mengenai lebih utama mana antara rukyatul hilal dan hisab dalam menentukan awal Ramadan, jawaban terbaik adalah mencari keseimbangan antara kedua metode ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H